Nikel merupakan mineral logam yang kini memainkan peran strategis dalam transisi energi global. Sebagai bahan utama baterai kendaraan listrik, permintaan nikel melonjak tajam seiring kebijakan dekarbonisasi yang dicanangkan banyak negara. Data menunjukkan bahwa pada 22 Februari 2022 harga nikel mencapai titik tertinggi sebesar USD 24.865 per ton, sejalan dengan tren kenaikan penggunaan nikel untuk kendaraan listrik yang meningkat 44% dari tahun ke tahun. Posisi Indonesia sebagai produsen nikel terbesar dunia menjadikan komoditas ini bukan sekadar sumber daya alam, melainkan instrumen geopolitik dan ekonomi global. Dalam konteks ini, pengelolaan nikel tidak lagi cukup dipandang sebagai persoalan teknis pertambangan, melainkan bagian dari strategi pembangunan industri dan diplomasi ekonomi.
Pemerintah Indonesia sejak reformasi menata kerangka hukum pertambangan melalui Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, yang beberapa kali mengalami perubahan hingga revisi terakhir dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2025. Regulasi ini menegaskan orientasi hilirisasi sebagai basis kebijakan, dengan menekankan kewajiban pengolahan dan pemurnian mineral di dalam negeri. Konsep hilirisasi tersebut diperkuat oleh PP Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan, yang kemudian diubah melalui PP Nomor 25 Tahun 2024. Aturan-aturan turunan seperti Permen ESDM No. 11 Tahun 2019 juga menutup pintu ekspor bijih nikel dengan kadar rendah di bawah 1,7%, sehingga memaksa pelaku industri mengembangkan fasilitas smelter. Perubahan kebijakan ini mencerminkan upaya pemerintah membalik paradigma “resource curse” menjadi “resource blessing” dengan memaksimalkan nilai tambah dari kekayaan mineral domestik.
Namun, kebijakan larangan ekspor nikel memunculkan sengketa internasional. Uni Eropa mengajukan gugatan ke World Trade Organization (WTO) pada November 2019 atas rencana Indonesia memberlakukan larangan ekspor nikel mentah. Panel WTO pada tahun 2022 memutuskan bahwa kebijakan Indonesia bertentangan dengan ketentuan General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) 1994. Putusan ini menggarisbawahi dilema antara kedaulatan negara dalam mengelola sumber daya alam dan komitmen terhadap liberalisasi perdagangan internasional. Indonesia tetap mempertahankan kebijakan hilirisasi, yang oleh sebagian analis dilihat sebagai manifestasi Pasal 33 UUD 1945 yang menekankan penguasaan negara atas bumi dan air serta kekayaan alam untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Sengketa ini menunjukkan bahwa hukum perdagangan internasional dapat membatasi ruang gerak kebijakan industrialisasi nasional, meski tidak selalu mampu menghapus ambisi negara dalam memanfaatkan sumber daya strategis.
Kebijakan hilirisasi dan ekspansi smelter membawa konsekuensi lingkungan yang besar. Smelter nikel, khususnya yang menggunakan teknologi HPAL (High Pressure Acid Leach), menghasilkan limbah tailing dan potensi pencemaran air serta udara. Dalam literatur ekonomi lingkungan, problem eksternalitas negatif dari industri ekstraktif kerap kali lebih besar dibanding manfaat ekonominya jika tidak dikelola secara ketat. Beberapa penelitian menekankan bahwa keberhasilan hilirisasi harus diiringi oleh standar Environmental, Social, and Governance (ESG) yang ketat. Pasar internasional kini tidak hanya menuntut produk olahan nikel dalam jumlah besar, tetapi juga mensyaratkan kepatuhan pada prinsip due diligence rantai pasok, termasuk perlindungan masyarakat adat dan larangan deforestasi. Artinya, tanpa tata kelola lingkungan yang kuat, Indonesia berisiko menghadapi hambatan dagang non-tarif dari pasar ekspor, terutama Uni Eropa yang semakin ketat menerapkan regulasi keberlanjutan.
Fluktuasi pasar juga menjadi tantangan tersendiri. Ekspansi kapasitas produksi di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir menimbulkan risiko overcapacity yang dapat menekan harga dunia. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan mengenai keberlanjutan model hilirisasi jangka panjang: apakah peningkatan kapasitas domestik akan mampu diserap pasar global atau justru mengarah pada “boom and bust cycle” yang merugikan? Dalam konteks teori ekonomi politik sumber daya alam, kondisi ini dapat dibaca sebagai gejala “commodity trap”, ketika negara penghasil tetap rentan terhadap dinamika harga global meskipun sudah melakukan industrialisasi.
Kajian multidisiplin yang menggabungkan hukum dan statistik memberikan gambaran lebih jelas mengenai hubungan regulasi dengan dampaknya. Dengan menggunakan pendekatan korelasi Pearson, intensitas regulasi (regulatory intensity index) diukur dari 2010 hingga 2025. Hasil analisis menunjukkan korelasi positif yang sangat kuat antara regulasi dan produksi nikel (r ≈ +0.93). Artinya, semakin ketat regulasi, semakin tinggi produksi karena investasi pada smelter dan fasilitas hilir meningkat. Namun, korelasi antara regulasi dan kerusakan lingkungan juga menunjukkan nilai positif yang kuat (r ≈ +0.81). Temuan ini mengindikasikan bahwa kebijakan hilirisasi memang efektif mendorong pertumbuhan industri, tetapi belum sepenuhnya diimbangi dengan kontrol lingkungan yang memadai. Literatur tata kelola sumber daya alam menyebut fenomena ini sebagai “double-edged sword”: kebijakan yang meningkatkan nilai tambah sekaligus memperparah kerentanan ekologis.
Implikasi dari analisis ini adalah perlunya perancangan kebijakan yang lebih seimbang. Regulasi ke depan tidak cukup hanya menutup ekspor bahan mentah dan memaksa hilirisasi, tetapi harus memperkuat instrumen pengawasan lingkungan, mekanisme kompensasi sosial, dan kerangka akuntabilitas korporasi. Buku-buku hukum lingkungan menekankan pentingnya instrumen seperti izin lingkungan berbasis risiko, kewajiban reklamasi pascatambang, serta transparansi data emisi industri. Sementara dari perspektif hukum perdagangan internasional, Indonesia harus merancang kebijakan hilirisasi yang “WTO-proof”, misalnya dengan argumentasi pembangunan berkelanjutan atau pengecualian atas dasar konservasi sumber daya alam.
Akhirnya, pengalaman Indonesia dengan nikel dapat dibaca sebagai laboratorium kebijakan. Di satu sisi, kebijakan hilirisasi membuktikan bahwa negara dapat menggunakan instrumen hukum untuk menggeser posisi tawar dari sekadar pengekspor bahan mentah menjadi produsen barang bernilai tambah. Di sisi lain, kegagalan mengantisipasi dampak lingkungan dapat menimbulkan beban ekologis yang mengurangi legitimasi kebijakan itu sendiri. Karena itu, diskursus akademik dan kebijakan publik perlu terus mencari titik temu antara industrialisasi, keberlanjutan lingkungan, dan kepatuhan terhadap norma hukum internasional. Nikel pada akhirnya bukan hanya mineral logam, melainkan simbol dari pergulatan antara kedaulatan nasional, tuntutan global, dan tanggung jawab antargenerasi.
Leave a Reply