Ketahanan keluarga merupakan fondasi utama dalam menjaga stabilitas sosial dan pembangunan bangsa. Keluarga yang harmonis tidak hanya menjadi tempat bertumbuhnya generasi baru, tetapi juga menjadi ruang aman di mana setiap anggota mendapatkan kasih sayang, perlindungan, dan kesempatan berkembang. Namun, dalam kenyataan sehari-hari, masih banyak keluarga yang rapuh akibat munculnya tindak kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Fenomena ini tidak hanya menimbulkan luka fisik dan psikis bagi korban, tetapi juga merusak tatanan sosial yang lebih luas. Dalam konteks inilah, perempuan dan hukum memiliki peran strategis sebagai pilar utama yang menentukan kuat atau lemahnya ketahanan keluarga.
Kekerasan dalam rumah tangga merupakan bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di ranah privat. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT secara tegas menegaskan bahwa setiap orang berhak mendapatkan perlindungan dari segala bentuk kekerasan dalam lingkup rumah tangga. Kekerasan tidak selalu berbentuk fisik seperti pukulan atau tendangan, melainkan juga psikis berupa hinaan dan ancaman, kekerasan seksual berupa pemaksaan hubungan intim tanpa persetujuan, serta kekerasan ekonomi berupa pelarangan bekerja atau penguasaan penuh terhadap akses keuangan. Dengan demikian, KDRT adalah fenomena multidimensi yang merusak tidak hanya tubuh korban, tetapi juga mental, martabat, dan keberlangsungan kehidupan keluarga.
Sayangnya, meskipun regulasi sudah ada, banyak kasus KDRT tidak pernah terungkap. Data Komnas Perempuan menunjukkan angka ribuan korban tiap tahun, tetapi kenyataannya jumlah riil jauh lebih besar. Banyak korban memilih diam karena takut, malu, atau tidak tahu harus melapor ke mana. Dalam masyarakat yang masih sarat budaya patriarki, perempuan sering kali dibebani stigma bahwa menjaga keutuhan rumah tangga lebih penting daripada keselamatan dirinya. Akibatnya, banyak perempuan bertahan dalam lingkaran kekerasan demi menjaga citra keluarga atau demi anak-anak. Sikap diam ini justru memperpanjang penderitaan dan memungkinkan kekerasan berulang tanpa intervensi.
Dalam kondisi seperti ini, hukum hadir sebagai alat untuk memberikan perlindungan. Undang-undang tidak hanya mengatur sanksi pidana bagi pelaku, tetapi juga memberikan hak-hak bagi korban. Hak-hak tersebut meliputi perlindungan langsung dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, hingga lembaga sosial; layanan kesehatan medis; pendampingan hukum dan psikososial; serta bimbingan rohani untuk pemulihan mental. Perempuan sebagai korban KDRT tidak boleh lagi diposisikan sebagai pihak lemah yang hanya bisa diam, tetapi harus diberi ruang untuk mengakses hukum secara setara. Keadilan tidak hanya hadir dalam bentuk vonis pengadilan, tetapi juga dalam penyediaan akses bantuan yang cepat, ramah, dan berpihak kepada korban.
Pentingnya peran perempuan dalam ketahanan keluarga tidak bisa dipisahkan dari persoalan hukum. Perempuan bukan sekadar objek perlindungan, melainkan subjek hukum yang berdaya. Ketika perempuan memahami hak-haknya dan berani memperjuangkannya, maka ia sekaligus memperkuat fondasi keluarganya. Misalnya, seorang istri yang mampu menolak kekerasan, mencari bantuan, dan menuntut keadilan, secara tidak langsung sedang melindungi anak-anaknya dari trauma intergenerasional. Banyak penelitian menunjukkan bahwa anak yang tumbuh dalam keluarga penuh kekerasan berisiko tinggi mengulangi pola tersebut di masa depan. Oleh karena itu, memperkuat kesadaran hukum perempuan juga berarti memutus rantai kekerasan lintas generasi.
Selain perangkat hukum positif, literatur psikologi keluarga menekankan pentingnya pendidikan gender sejak dini. Nilai-nilai kesetaraan, penghargaan terhadap perempuan, dan pengendalian emosi perlu ditanamkan sejak anak-anak agar mereka tumbuh dengan pola pikir yang sehat. Pendidikan formal dapat menyisipkan kurikulum anti-kekerasan, resolusi konflik damai, serta pentingnya komunikasi dalam rumah tangga. Di sisi lain, tokoh agama dan masyarakat juga memegang peran penting dalam menyampaikan pesan moral bahwa KDRT adalah perbuatan tercela yang bertentangan dengan nilai agama, adat, dan hukum negara.
Pencegahan KDRT juga sangat terkait dengan aspek ekonomi. Banyak perempuan tetap bertahan dalam hubungan berbahaya karena tidak memiliki kemandirian finansial. Ketergantungan ekonomi membuat korban merasa tidak punya pilihan selain bertahan. Oleh karena itu, pemberdayaan ekonomi perempuan melalui pelatihan keterampilan, akses kredit mikro, atau peluang usaha mandiri sangat penting. Kemandirian ekonomi bukan hanya meningkatkan kesejahteraan keluarga, tetapi juga memberi perempuan posisi tawar lebih kuat dalam rumah tangga. Dengan demikian, pemberdayaan ekonomi adalah bagian dari strategi hukum sosial untuk mengurangi KDRT.
Selain aspek preventif, penegakan hukum terhadap pelaku KDRT harus dilakukan secara tegas. Sanksi pidana yang diatur dalam UU PKDRT memberikan ancaman hukuman penjara dan denda yang cukup berat, tergantung pada jenis kekerasan yang dilakukan. Namun, efektivitas penegakan hukum sering terkendala faktor budaya dan kelemahan birokrasi. Tidak jarang aparat masih menganggap KDRT sebagai masalah privat yang sebaiknya diselesaikan secara kekeluargaan. Pandangan ini jelas keliru, karena mengabaikan hak korban dan menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum. Aparat penegak hukum harus dilatih untuk memiliki perspektif gender, empati, dan keberpihakan pada korban agar hukum benar-benar menjadi instrumen perlindungan.
Sengketa rumah tangga yang berujung pada perceraian sering kali bermula dari kekerasan yang tidak tertangani. Ketika KDRT tidak dicegah sejak dini, dampaknya bisa meluas ke ranah perdata berupa putusnya perkawinan, perebutan hak asuh anak, hingga pembagian harta. Situasi ini menunjukkan betapa pentingnya hukum perkawinan dan hukum keluarga berjalan selaras dengan hukum pidana KDRT. Dengan pendekatan hukum yang komprehensif, negara tidak hanya menghukum pelaku, tetapi juga memastikan hak-hak perdata korban dan anak tetap terlindungi.
Dalam kerangka pembangunan nasional, ketahanan keluarga juga berhubungan dengan visi Indonesia Emas 2045. Generasi emas yang diharapkan tidak akan lahir dari keluarga yang penuh kekerasan. Sebaliknya, mereka harus lahir dari keluarga yang harmonis, sehat, dan penuh kasih sayang. Oleh karena itu, program-program strategis seperti pengabdian masyarakat Universitas Brawijaya yang menghadirkan modul edukasi KDRT sangat relevan. Modul tersebut tidak hanya menjadi panduan praktis bagi remaja dan keluarga muda, tetapi juga alat transformasi sosial yang membangun kesadaran hukum di tingkat desa.
Lebih jauh, penguatan ketahanan keluarga melalui perspektif hukum juga menuntut sinergi lintas sektor. Pemerintah, lembaga pendidikan, aparat hukum, organisasi masyarakat sipil, dan komunitas lokal perlu bekerja sama. Kampanye publik, penyediaan layanan darurat, pembentukan Satgas Anti-KDRT di desa, hingga pemanfaatan media sosial sebagai sarana edukasi harus terus diperkuat. Semua elemen ini menjadi benteng kolektif yang memastikan KDRT tidak lagi dianggap sebagai hal biasa, melainkan kejahatan yang harus dicegah dan dihentikan.
Dengan demikian, perempuan dan hukum adalah dua elemen yang saling menopang dalam menjaga ketahDoanan keluarga. Hukum memberikan perlindungan formal dan legitimasi untuk melawan kekerasan, sementara perempuan sebagai aktor utama dalam keluarga menjadi motor yang menjaga nilai kasih sayang, komunikasi, dan keadilan. KDRT bukan sekadar masalah pribadi, melainkan masalah publik yang menyangkut hak asasi manusia dan masa depan bangsa. Karena itu, membangun ketahanan keluarga berarti memastikan setiap perempuan berdaya secara hukum, sosial, dan ekonomi.
Leave a Reply