Oleh: Tim Penyusun, Diupdate 11 November 2025
Tujuan dan fungsi negara merupakan dua konsep fundamental yang menjadi landasan bagi eksistensi dan operasionalisasi negara sebagai organisasi kekuasaan tertinggi dalam masyarakat. Pemahaman terhadap kedua konsep ini tidak dapat dilepaskan dari perkembangan pemikiran filsafat politik yang telah berlangsung sejak era klasik hingga modern. Berbagai teori yang berkembang menunjukkan bahwa tujuan negara tidaklah tunggal, melainkan bersifat multidimensional tergantung pada perspektif ideologis, konteks historis, dan kebutuhan masyarakat yang melingkupinya. Esai ini akan menguraikan secara komprehensif berbagai teori tentang tujuan negara yang mencakup teori kekuasaan, perdamaian, kebebasan, kesusilaan, kesejahteraan, kebahagiaan, keadilan, diktator, integralistik, fasis, dan état universel, serta teori-teori tentang fungsi negara yang dikemukakan oleh para pemikir mulai dari John Locke hingga Goodnow.
Teori-Teori Tujuan Negara
Teori Kekuasaan Negara
Teori kekuasaan negara menempatkan kekuasaan sebagai tujuan utama dan hakikat dari keberadaan negara. Tiga pemikir utama yang mengembangkan teori ini adalah Lord Shang Yang, Niccolò Machiavelli, dan Friedrich Nietzsche, yang masing-masing menulis dalam konteks kekacauan politik yang melanda negeri mereka.
Lord Shang Yang, pemikir Cina kuno yang menulis A Classic of the Chinese School of Law (1928), mengembangkan ajarannya di tengah pemberontakan dan perang saudara di Cina. Ajaran utamanya adalah “A weak people means a strong state and a strong state means a weak people” (Rakyat lemah berarti negara kuat, negara kuat berarti rakyat lemah). Lord Shang Yang juga berpandangan bahwa kebudayaan merugikan negara, yang ia kategorikan dalam “10 evils” (sepuluh kejahatan). Pemikiran ini mencerminkan pandangan legalisme Cina yang mengutamakan kekuatan negara di atas segala-galanya.
Niccolò Machiavelli menulis Il Principe (The Prince, 1513) dalam konteks kekacauan internal Italia akibat perebutan kekuasaan antar negara bagian dan intervensi negara asing. Ajaran Machiavelli menekankan bahwa pemerintah harus selalu berada di atas segala aliran yang ada, bahwa dengan kekuasaan kemakmuran akan tercapai, dan bahwa pemerintah kadang harus bersikap sebagai singa agar rakyat takut, kadang harus bersikap sebagai kancil yang cerdik untuk menguasai rakyatnya. Machiavelli memandang kekuasaan sebagai sarana utama menjaga keberlangsungan negara, meskipun harus menanggalkan norma moral.
Friedrich Nietzsche dalam karyanya Also Sprach Zarathustra menyatakan bahwa manusia berada dalam kerusakan dan kemunduran karena berpegang pada nilai-nilai yang sesat. Baginya, hidup adalah perjuangan, hasrat untuk berkuasa itulah rahasia hidup, dan hidup adalah serba memenangkan dan menaklukkan. Pemikiran Nietzsche ini kemudian banyak mempengaruhi ideologi-ideologi totaliter abad ke-20.
Teori Perdamaian
Teori perdamaian menempatkan terciptanya keamanan, ketertiban, dan kedamaian sebagai tujuan utama negara. Para pemikir yang mengembangkan teori ini antara lain Dante Alleghieri, Thomas Hobbes, Montesquieu, Epicurus, dan Julius Caesar.
Dante Alleghieri dalam karyanya Die Monarchia (1313) menulis di tengah kondisi perebutan kekuasaan antara raja dan patria yang disertai kemerosotan ekonomi. Dante mengajarkan bahwa pemerintah seharusnya diorganisir dengan baik, gereja dan negara sebaiknya bekerja sama untuk perdamaian dunia dengan cara menciptakan undang-undang, dan negara harus bersifat progresif.
Thomas Hobbes adalah pemikir yang paling berpengaruh dalam teori perdamaian dengan ajarannya bahwa perdamaian adalah hakikat tujuan negara. Menurut Hobbes, karena masyarakat tidak mampu menanggulangi terjadinya gejolak, maka mereka mengikatkan diri dalam perjanjian untuk membentuk negara. Tanpa adanya negara, manusia akan hidup dalam kondisi “bellum omnium contra omnes” (perang semua melawan semua).
Montesquieu memandang negara sebagai alat yang dibuat manusia untuk melindungi dirinya dari segala ancaman, sehingga tujuan negara adalah terciptanya kehidupan yang aman dan sentosa. Epicurus mengajarkan bahwa adanya negara adalah untuk keamanan, ketertiban, dan kepastian hidup segenap warganya. Sementara Julius Caesar dengan ajarannya “Si vis pacem para bellum” (Jika menghendaki perdamaian siapkanlah diri untuk peperangan), menyatakan bahwa tujuan semula dari negara adalah pertahanan (defensif), meski dari pertahanan ke serangan (ofensif) hanya satu langkah.
Teori Kebebasan
Teori kebebasan menekankan bahwa tujuan negara adalah menjamin kebebasan dan hak-hak dasar warga negaranya. Para pemikir yang mengembangkan teori ini meliputi Immanuel Kant, Herbert Spencer, Jean Bodin, John Locke, Johann Gottlieb Fichte, dan Roger F. Soltau.
Immanuel Kant mengecam perbedaan-perbedaan dalam masyarakat dan mengembangkan konsep negara hukum dalam arti sempit (rechtstaat in enge zin), di mana negara bertugas melindungi kebebasan dan hak pokok manusia secara pasif saja. Kant berpendapat bahwa negara dibangun untuk membuat dan menegakkan hukum, sedangkan hukum merupakan perangkat yang berfungsi sebagai penjamin kemerdekaan rakyat karena hukum dan kemerdekaan tidak dapat dipisahkan.
Herbert Spencer memandang negara sebagai alat bagi manusia untuk memperoleh lebih banyak kebebasan dan kemerdekaan. Jean Bodin menyatakan bahwa adanya negara melenyapkan kemerdekaan asli manusia sehingga manusia menjadi tunduk dan terikat kekuasaan negara, namun paradoksnya, negara dengan kekuasaannya tersebut justru memerdekakan warganya.
John Locke dalam karyanya Two Treatises on Government mengajarkan bahwa pembentukan political or civil society menjadikan manusia tidak melepas semua hak alamiah yang ada padanya. Tujuan negara tidak lain adalah memelihara dan menjamin hak-hak alamiah yang masih sisa, yaitu hak hidup, hak merdeka, dan hak atas harta benda sendiri. Johann Gottlieb Fichte berpendapat bahwa pemerintah yang benar adalah pemerintahan yang menuju tidak adanya pemerintahan lagi, di mana hak dan kewajiban individual maupun komunal dipatuhi sehingga tidak terdapat lagi pelanggaran, maka kemerdekaan sesungguhnya akan terwujud. Roger F. Soltau mengajarkan bahwa tujuan negara adalah memungkinkan rakyat berkembang dan mengungkapkan daya ciptanya sebebas mungkin (the freest possible development and creative self expression of its members).
Teori Kesusilaan
Teori kesusilaan dikembangkan oleh Plato dan Al-Farabi dengan ajaran bahwa tujuan negara adalah memajukan kesusilaan manusia, baik sebagai individu maupun sebagai makhluk sosial. Dalam perspektif Plato, negara ideal adalah negara yang dipimpin oleh filsuf-raja yang bijaksana dan bertujuan menciptakan keadilan serta kebajikan. Al-Farabi, sebagai filsuf Muslim, mengintegrasikan pemikiran ini dengan nilai-nilai Islam, menekankan bahwa negara harus membimbing warganya menuju kesempurnaan moral dan spiritual.
Teori Negara Kesejahteraan
Teori negara kesejahteraan (welfare state) menempatkan kesejahteraan rakyat sebagai tujuan utama negara. Teori ini berkembang dalam dua aliran besar: liberalis kapitalis dan solidaris sosialis.
Aliran liberalis kapitalis dikembangkan oleh Adam Smith dalam karyanya Wealth of Nations dan Kranenburg. Ajaran aliran ini menyatakan bahwa kebahagiaan dan kesejahteraan masyarakat harus dicapai lewat politik dengan sistem liberal dan persaingan bebas, serta negara hukum bukan hanya untuk penguasa atau golongan tertentu tetapi untuk kesejahteraan seluruh rakyat dalam negara.
Aliran solidaris sosialis dikembangkan oleh Thomas More dalam karyanya Utopia dan Karl Marx dalam Das Kapital. Ajaran aliran ini menyatakan bahwa kesejahteraan hanya mungkin jika sistem perekonomian dilakukan secara kekeluargaan, di mana negara harus memiliki alat produksi dan distribusi agar terdapat pemerataan. Aliran ini terbagi menjadi dua: aliran komunis yang menghapus semua hak milik perseorangan dan menggantinya dengan hak milik komunal, serta aliran sosialis yang membatasi hak milik di mana alat produksi dan distribusi yang vital dikuasai negara.
Konsep welfare state sendiri merupakan respons terhadap konsep negara penjaga malam (nachtwakerstaat), di mana pemerintah mengambil tanggung jawab penuh terhadap kesejahteraan masyarakatnya melalui program asuransi sosial dan jaminan kesejahteraan.
Teori Kebahagiaan
Teori kebahagiaan menekankan bahwa tujuan negara adalah menciptakan kebahagiaan bagi warga negaranya. Para pemikir yang mengembangkan teori ini antara lain Montesquieu, Hartmann, Harold J. Laski, John Stuart Mill, Jeremy Bentham, dan Miriam Budiardjo.
Montesquieu dalam karyanya L’Esprit des Lois menyatakan bahwa tujuan negara adalah agar tetap memiliki wilayahnya yang akan dimanfaatkan bagi sebesar-besarnya kepentingan masyarakat sehingga mereka dapat hidup tentram dan bahagia. Hartmann mengajarkan bahwa tujuan negara tidak hanya mencapai kebesaran negara itu saja melainkan juga mencapai kebahagiaan hidup masyarakat. Harold J. Laski menyatakan bahwa tujuan negara adalah berusaha semaksimal mungkin memberi kesempatan bagi warganya untuk mewujudkan the best that is in themselves (kebahagiaan untuk dirinya).
John Stuart Mill dan Jeremy Bentham mengembangkan teori utilitarianisme dengan ajaran bahwa tujuan negara adalah untuk mencapai the greatest happiness of the greatest number (kebahagiaan untuk sebanyak-banyaknya manusia). Miriam Budiardjo dalam bukunya Dasar-Dasar Ilmu Politik menyatakan bahwa tujuan negara adalah bonum publicum, common good, atau common weal (menciptakan kebahagiaan bagi rakyatnya).
Teori Keadilan
Teori keadilan dikembangkan oleh Thomas Aquinas, Aristoteles, dan Ibnu Sina dengan penekanan bahwa tujuan negara adalah mewujudkan keadilan.
Thomas Aquinas mengajarkan bahwa kekuasaan dan hukum negara hanya berlaku selama ini mewujudkan keadilan untuk kebaikan bersama (bonum commune), seperti yang dikehendaki Tuhan. Aquinas membedakan keadilan menjadi keadilan umum (iustitia generalis) dan keadilan khusus (iustitia specialis) yang terdiri dari keadilan distributif, komutatif, dan vindikatif. Menurutnya, tidak dibenarkan menentang kekuasaan yang tidak adil itu dengan kekerasan karena akan menyebabkan kekacauan yang lebih besar.
Aristoteles dan Ibnu Sina mengajarkan bahwa negara menjamin kebaikan hidup warganegaranya, dan hal ini bisa tercapai dengan keadilan. Perwujudan keadilan adalah dengan undang-undang yang didasarkan pada kemauan dan kehendak warganya.
Teori Diktator
Teori diktator dikembangkan oleh Georg Wilhelm Friedrich Hegel dengan ajaran bahwa tujuan negara adalah negara itu sendiri. Menurut Hegel, negara adalah roh di atas bumi dan secara sadar merealisasikan dirinya. Dalam memahami ide negara, kita tidak boleh melihat pada bentuk-bentuk negara atau institusi tertentu, tetapi harus memahaminya sebagai roh, Tuhan yang nyata dalam dirinya.
Hegel memandang negara sebagai persoon yang mempunyai kemampuan sendiri dalam mengejar pelaksanaan ide umum. Kewajiban tertinggi manusia adalah menjadi warga negara sesuai dengan undang-undang, dan warganya harus mengorbankan apa saja yang diperintahkan pemegang kuasa. Pandangan Hegel ini menjadi landasan filosofis bagi ideologi-ideologi totaliter yang berkembang kemudian.
Teori Integralistik
Teori integralistik dikembangkan oleh Soepomo dalam konteks pembentukan negara Indonesia. Soepomo menyatakan bahwa teori ini berasal dari pemikiran Spinoza, Adam Müller, dan Hegel. Menurut teori integralistik, negara tidak untuk menjamin kepentingan seseorang atau golongan, melainkan semua bagian dan semua anggotanya berhubungan erat satu sama lain dan merupakan persatuan berdasarkan aliran pikiran integral, yaitu penghidupan bangsa seluruhnya.
Konsep integralistik Soepomo memiliki beberapa poin utama: negara merupakan struktur masyarakat yang bersifat erat dan integral mencakup semua golongan; seluruh anggota masyarakat membentuk satu kesatuan yang bersifat organis; kepentingan yang berkaitan dengan persatuan masyarakat menjadi prioritas utama; dan negara tidak memihak pada golongan tertentu. Soepomo menolak model negara liberal Barat yang mengutamakan individu dan juga menolak model negara sosialis yang berbasis pada pertentangan kelas.
Teori Fasis
Teori fasis dikembangkan oleh Benito Mussolini dan Adolf Hitler dengan beberapa ajaran utama. Pertama, negaralah yang primer, bangsa menyusul kemudian. Kedua, negara adalah ciptaan orang kuat, bukan rakyat. Ketiga, pemimpin negara menentukan tujuan negara, maka negara dengan alat perlengkapannya harus menggembleng rakyat mengikuti tujuan tersebut membentuk kesatuan kesusilaan, politik, maupun ekonomi. Keempat, tujuan negara adalah Empirium Dunia (mempersatukan semua bangsa di dunia menjadi satu tenaga).
Teori État Universel
Teori État Universel dikembangkan oleh Al-Farabi dan Al-Mawardi dengan cita-cita satu negara sedunia berdasarkan teokrasi Islam. Kewajiban negara adalah menjamin pada segenap penduduknya satu pemerintahan sempurna. Dasar pemerintahan adalah khilafat (kekuasaan terpilih) yang meneruskan tugas Rasul untuk urusan duniawi dan akhirat. Dalam menjalankan pemerintahan, pemimpin berdasar pada veritable contrat (petunjuk khalifah terdahulu).
Teori-Teori Fungsi Negara
Fungsi negara adalah kerja atau tugas negara untuk mencapai tujuannya. Berbagai pemikir telah mengembangkan teori tentang fungsi negara dari perspektif yang berbeda-beda.
Fungsi Negara di Prancis Abad ke-16
Pada abad ke-16 di Prancis, fungsi negara dibagi menjadi lima departemen:
- Diplomatic: Fungsi negara sebagai penghubung antara raja dengan raja atau negara dengan negara, karena di Prancis kedudukan Raja sama dengan Negara.
- Defence: Fungsi negara mempertahankan negara apabila tugas dari departemen diplomatik mengalami kegagalan sehingga terjadi peperangan.
- Finance: Fungsi negara mengatur dan menyediakan keuangan negara atau raja untuk pembiayaan kegiatan dari departemen lainnya.
- Justice: Fungsi negara menjaga ketertiban dalam negeri dan mengurus apabila terjadi perselisihan antar warga negara.
- Police: Fungsi negara menyelenggarakan kepentingan umum dan kemakmuran rakyat serta tugas-tugas lain yang belum ditugaskan kepada empat departemen lainnya.
Fungsi Negara Menurut John Locke
John Locke membagi fungsi negara menjadi tiga:
- Legislatif: Fungsi membuat peraturan.
- Eksekutif: Fungsi menjalankan peraturan.
- Federatif: Fungsi mengurusi urusan luar negeri dan urusan perang serta damai.
Pembagian fungsi negara menurut John Locke ini menjadi cikal bakal teori pemisahan kekuasaan yang kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Montesquieu.
Fungsi Negara Menurut Montesquieu (Trias Politica)
Montesquieu mengembangkan teori Trias Politica yang membagi fungsi negara menjadi tiga:
- Legislatif: Fungsi membuat peraturan.
- Eksekutif: Fungsi melaksanakan peraturan.
- Yudikatif: Fungsi mengawasi dan mengadili agar semua peraturan ditaati.
Montesquieu meyakini bahwa kekuasaan cenderung korup jika tidak dibatasi sehingga fungsi negara harus dipisahkan menjadi beberapa bagian agar saling mengawasi dan menyeimbangkan (check and balances). Pemisahan kekuasaan ini bertujuan untuk melindungi kebebasan rakyat agar tidak ada lembaga yang memiliki kekuasaan absolut. Gagasan Montesquieu ini menjadi inspirasi utama bagi konstitusi Amerika Serikat (1787) dan banyak sistem demokrasi di dunia termasuk Indonesia.
Fungsi Negara Menurut Van Vollenhoven (Catur Praja)
Cornelis van Vollenhoven mengembangkan teori Catur Praja (Quarto Politica) yang membagi fungsi negara menjadi empat:
- Regeling: Negara berfungsi membuat peraturan-peraturan umum yang merupakan undang-undang dalam arti material yang mengikat penduduk.
- Bestuur (Eksekutif): Negara berfungsi menjalankan pelaksanaan kepentingan umum, bertugas dalam tugas eksekutif dalam arti luas. Dalam negara modern, fungsi bestuur memiliki tugas yang sangat luas, tidak hanya terbatas pada pelaksanaan undang-undang saja, tetapi juga mencampuri urusan kehidupan masyarakat dalam bidang ekonomi, sosial budaya, maupun politik.
- Rechtspraak: Negara berfungsi mengadili, baik dalam bidang pidana maupun perdata.
- Politie (Pengawas): Negara berfungsi menjaga tata tertib dalam arti mengawasi supaya setiap badan dan warga negara menjalankan tugas yang digariskan dan mengusahakan agar tidak terdapat pelanggaran hukum.
Teori Van Vollenhoven ini mencerminkan perkembangan fungsi negara yang semakin kompleks, terutama dalam konteks negara-negara yang sedang berkembang di mana penambahan tugas untuk lembaga eksekutif sangat terasa.
Fungsi Negara Menurut Goodnow (Dikotomi/Dwipraja)
Frank J. Goodnow mengembangkan teori Dikotomi atau Dwipraja yang muncul sebagai reaksi terhadap Spoil System pada masa pemerintahan Presiden Andrew Jackson. Sistem tersebut menerapkan prinsip “tahu sama tahu” di mana apabila suatu partai menang dalam pemilu, maka seluruh aparatur negara dari presiden sampai pekerja bawahan diganti dengan orang-orang dari partai yang menang.
Menurut Goodnow, fungsi negara terbagi menjadi dua:
- Policy Making: Sekelompok orang yang membuat atau menentukan policy atau garis besar haluan negara atau menetapkan program pelaksanaan negara.
- Policy Executing: Sekelompok orang yang menjalankan program yang dibuat oleh Policy Making.
Pembagian fungsi ini menekankan pemisahan antara fungsi perumusan kebijakan dan fungsi pelaksanaan kebijakan, yang bertujuan untuk menciptakan birokrasi yang lebih profesional dan tidak terlalu terpengaruh oleh pergantian politik.
Penutup
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa tujuan dan fungsi negara merupakan konsep yang berkembang dinamis seiring dengan perkembangan pemikiran politik dan kebutuhan masyarakat. Berbagai teori tentang tujuan negara menunjukkan spektrum yang luas, mulai dari teori kekuasaan yang menempatkan kekuatan negara di atas segalanya, teori perdamaian yang menekankan keamanan dan ketertiban, teori kebebasan yang menjunjung tinggi hak-hak individu, hingga teori kesejahteraan dan kebahagiaan yang menempatkan kesejahteraan rakyat sebagai prioritas utama.
Teori keadilan dari Thomas Aquinas dan Aristoteles memberikan landasan moral-filosofis bahwa negara harus mewujudkan keadilan bagi semua warganya. Sementara teori integralistik Soepomo menawarkan perspektif khas Indonesia yang menekankan persatuan dan kesatuan bangsa di atas kepentingan individu atau golongan. Di sisi lain, teori-teori totaliter seperti teori diktator Hegel dan teori fasis menunjukkan bahaya ketika negara diposisikan di atas segalanya tanpa batasan.
Dalam hal fungsi negara, perkembangan teori menunjukkan semakin kompleksnya tugas-tugas yang harus diemban negara. Dari pembagian tiga fungsi oleh John Locke dan Montesquieu, berkembang menjadi empat fungsi dalam teori Catur Praja Van Vollenhoven, hingga konsep dikotomi Goodnow yang membedakan antara fungsi pembuatan kebijakan dan pelaksanaan kebijakan. Hal ini mencerminkan tuntutan masyarakat modern yang semakin kompleks terhadap peran negara dalam berbagai aspek kehidupan.
Pemahaman yang komprehensif terhadap berbagai teori tujuan dan fungsi negara ini sangat penting bagi pengembangan ilmu kenegaraan dan praktik penyelenggaraan pemerintahan yang berorientasi pada kepentingan rakyat, berkeadilan, dan demokratis. Dalam konteks Indonesia, sintesis dari berbagai teori ini, khususnya teori integralistik yang dikombinasikan dengan prinsip-prinsip negara hukum dan demokrasi, menjadi landasan bagi penyelenggaraan negara yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Leave a Reply