Oleh: Tim Penyusun, Diupdate 11 November 2025
Studi mengenai tipe negara merupakan salah satu kajian fundamental dalam ilmu negara (Staatswissenschaft) yang memberikan pemahaman mendalam tentang hakikat hubungan antara negara dan warga negaranya. Berbeda dengan klasifikasi negara berdasarkan bentuk negara seperti kesatuan atau federasi maupun bentuk pemerintahan seperti kerajaan atau republik yang memiliki batas-batas tegas dan mudah dikenali, tipe negara justru tidak memiliki batasan yang ketat. Menurut Prof. Logemann, tipe negara lebih berkenaan dengan struktur batin pemerintah, yakni mengenai hubungan antara pemerintah dengan warga negara serta mengenai tugas-tugas negara. Pemahaman terhadap evolusi tipe-tipe negara menjadi sangat penting karena mencerminkan perkembangan pemikiran filosofis mengenai peran negara dalam kehidupan masyarakat, dari absolutisme menuju negara hukum modern yang menjunjung tinggi kesejahteraan rakyat.
Status Theorie George Jellinek sebagai Landasan Tipologi Negara
George Jellinek, yang dikenal sebagai “Bapak Ilmu Negara,” memberikan kontribusi monumental melalui Status Theorie yang merumuskan kerangka teoretis untuk memahami hubungan antara negara dan warga negara. Dalam karya utamanya Allgemeine Staatslehre (Teori Umum tentang Negara), Jellinek mengembangkan konsep empat status yang menjadi dasar penggolongan tipe-tipe negara.
Status positif menggambarkan kondisi di mana negara secara aktif menyelenggarakan dan mencampuri urusan kesejahteraan serta kemakmuran rakyat. Sebaliknya, status negatif merujuk pada situasi di mana negara tidak ikut campur dalam urusan perekonomian rakyat. Dari perspektif partisipasi warga, status aktif menunjukkan keadaan di mana rakyat berpartisipasi secara aktif dalam pemerintahan, sedangkan status pasif mencerminkan kondisi di mana rakyat hanya tunduk pada pemerintah tanpa partisipasi politik yang berarti.
Teori Jellinek ini kemudian melahirkan tiga tipe kenegaraan utama yang mencerminkan evolusi pemikiran tentang peran negara: Negara Polisi (Polizeistaat), Negara Hukum Formal/Liberal (Formele Liberal Rechtsstaat), dan Negara Hukum Materiil/Modern. Masing-masing tipe ini merepresentasikan kombinasi berbeda dari keempat status tersebut dan mencerminkan respons terhadap kondisi sosial-politik zamannya.
Negara Polisi (Polizeistaat): Tipe Negara dengan Kekuasaan Absolut
Negara Polisi merupakan tipe negara yang berkembang pada masa absolutisme di Eropa, di mana hubungan antara negara dengan rakyat bersifat positif-pasif. Dalam sistem ini, negara menentukan segalanya sementara rakyat hanya berperan pasif sebagai objek kekuasaan. Karakteristik utama Negara Polisi dapat ditelusuri melalui beberapa prinsip fundamental yang melandasi operasionalnya.
Prinsip pertama adalah Salus Publica Suprema Lex, yang berarti kepentingan umum berada di atas segalanya, termasuk di atas hukum dan undang-undang. Prinsip ini memberikan legitimasi bagi penguasa untuk mengambil tindakan apa pun atas nama kepentingan publik tanpa batasan hukum yang jelas. Prinsip kedua adalah Princeps Legibus Solutus Est, yang menegaskan bahwa hanya raja atau penguasa yang berhak membuat hukum dan undang-undang. Dengan demikian, penguasa tidak terikat oleh hukum yang dibuatnya sendiri.
Dalam bidang ekonomi, Negara Polisi dipengaruhi kuat oleh aliran merkantilisme yang menganjurkan intervensi negara secara masif dalam aktivitas ekonomi untuk mengakumulasi kekayaan nasional. Penguasa mengendalikan seluruh aspek kehidupan ekonomi rakyat dengan tujuan memperkuat kekuasaan negara. Model ini tentu memiliki kelemahan fundamental karena mengabaikan hak-hak individual dan menempatkan rakyat semata-mata sebagai instrumen pencapaian tujuan negara.
Negara Hukum Formal (Rechtsstaat Liberal): Antitesis Negara Polisi
Negara Hukum Formal muncul sebagai antitesis terhadap Negara Polisi, membawa perubahan fundamental dalam hubungan negara dan rakyat menjadi bersifat negatif-aktif. Dalam tipe ini, negara tidak boleh mencampuri urusan ekonomi rakyat, sementara rakyat memiliki kebebasan dan berperan aktif dalam pemerintahan. Konsep ini berkembang sebagai respons terhadap absolutisme yang menindas kebebasan individual.
Negara dalam tipe ini hanya berfungsi sebagai “wasit” yang bertugas mengawasi apabila terjadi pelanggaran aturan permainan dari rakyat yang berkompetisi secara bebas. Istilah “Negara Penjaga Malam” (Nachtwächterstaat) sering digunakan untuk menggambarkan peran minimal negara dalam kehidupan masyarakat. Pandangan akan hukum yang sempit, yakni hanya terbatas pada undang-undang tertulis, sangat mempengaruhi karakteristik negara hukum formal ini bersama dengan pengaruh kuat aliran liberalisme dalam filsafat politik dan ekonomi.
Friedrich Julius Stahl, tokoh utama konsep Rechtsstaat di Eropa Kontinental, merumuskan empat elemen penting yang harus dipenuhi oleh negara hukum formal:
Kelemahan utama negara hukum formal terletak pada pendekatannya yang terlalu formalistis dan mengabaikan aspek keadilan substantif. Hukum dianggap adil semata-mata karena telah ditetapkan melalui prosedur yang sah, tanpa memperhatikan apakah substansinya benar-benar mewujudkan keadilan bagi masyarakat.
Perbandingan Rechtsstaat dan The Rule of Law
Perkembangan konsep negara hukum di dunia menunjukkan dua tradisi yang berbeda namun memiliki tujuan serupa. Konsep Rechtsstaat berkembang di negara-negara Eropa Kontinental dengan tradisi civil law, sementara konsep The Rule of Law berkembang di negara-negara Anglo-Saxon dengan tradisi common law.
A.V. Dicey, pelopor konsep The Rule of Law, merumuskan tiga prinsip fundamental:
- Supremacy of Law (Supremasi Hukum): Hukum berada di atas segalanya dan menentang kekuasaan sewenang-wenang. Tidak seorang pun dapat dihukum kecuali atas pelanggaran hukum yang jelas dan dibuktikan di pengadilan.
- Equality Before the Law (Persamaan di Hadapan Hukum): Semua orang, termasuk pejabat pemerintah, tunduk pada hukum yang sama dan diadili oleh pengadilan yang sama. Tidak ada perlakuan khusus berdasarkan status atau kedudukan.
- Constitution Based on Human Rights: Konstitusi bukan merupakan sumber hak, melainkan merupakan konsekuensi dari hak-hak individu yang telah ditegakkan melalui putusan pengadilan.
The Rule of Law dalam arti formal merupakan kekuasaan umum yang terorganisir (organized public power), sedangkan dalam arti materiil bermakna “the rule of just law” yang menjunjung tinggi hak asasi manusia dan bermaksud menegakkan hukum yang benar dan adil. Perbedaan mendasar antara kedua tradisi ini terletak pada pendekatan: Rechtsstaat lebih menekankan pada struktur kelembagaan dan prosedur formal, sedangkan The Rule of Law lebih menekankan pada substansi keadilan dan perlindungan hak individual melalui praktik peradilan.
Negara Hukum Materiil: Sintesis Dialektis
Negara Hukum Materiil atau Negara Hukum Modern merupakan sintesis dari dialektika antara Negara Polisi (tesis) dan Negara Hukum Formal (antitesis). Tipe negara ini menggabungkan elemen positif dari kedua pendahulunya: peran aktif negara dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat dari Negara Polisi, dengan jaminan kebebasan dan partisipasi politik rakyat dari Negara Hukum Formal. Hubungan negara-rakyat dalam tipe ini bersifat positif-aktif.
Negara hukum materiil mengakui bahwa legalitas formal semata tidak cukup untuk mewujudkan keadilan. Sebagaimana dikemukakan dalam perkembangan konsep Rechtsstaat di Jerman pasca-1949, negara hukum harus terikat pada seperangkat norma-norma yang lebih tinggi (Grundsätze) yang menciptakan kondisi yang dapat digambarkan secara hukum sebagai adil secara materiil. Tindakan penguasa tidak hanya harus berdasarkan undang-undang, tetapi dalam hal mendesak demi kepentingan warga negara, pemerintah dibenarkan bertindak bahkan melampaui ketentuan undang-undang dengan menerapkan asas oportunitas.
Perkembangan ini mencerminkan pergeseran paradigma dari negara hukum yang semata-mata formal menuju negara hukum yang berorientasi pada keadilan substantif. Indonesia sendiri mengadopsi konsep negara hukum yang dapat dikategorikan sebagai gabungan antara negara hukum formal dan materiil, karena selain menggunakan undang-undang juga menekankan adanya pemenuhan nilai-nilai hukum yang bersumber dari Pancasila.
Negara Kesejahteraan (Welfare State): Perwujudan Tujuan Negara
Negara Kesejahteraan merupakan perkembangan lebih lanjut dari konsep negara hukum materiil yang menempatkan kesejahteraan umum sebagai tujuan utama negara. Dalam konsepsi ini, negara dipandang sebagai alat yang dibentuk manusia untuk mencapai tujuan bersama, yakni kemakmuran dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat.
Prof. Mr. R. Kranenburg, salah satu penggagas utama teori Welfare State, menegaskan bahwa tujuan negara bukan sekadar memelihara ketertiban hukum, melainkan juga aktif mengupayakan kesejahteraan warganya. Menurut Kranenburg, negara harus bertindak adil yang dapat dirasakan seluruh masyarakat secara merata dan seimbang, bukan mensejahterakan golongan tertentu tetapi seluruh rakyat.
Konsep negara kesejahteraan memiliki beberapa dimensi penting:
- Sebagai kondisi sejahtera: Terciptanya keadaan di mana kebutuhan dasar akan gizi, kesehatan, pendidikan, tempat tinggal, dan pendapatan dapat dipenuhi, serta manusia memperoleh perlindungan dari risiko-risiko utama yang mengancam kehidupannya.
- Sebagai pelayanan sosial: Mencakup jaminan sosial (social security), pelayanan kesehatan, pendidikan, perumahan, dan pelayanan sosial personal.
- Sebagai tunjangan sosial: Bantuan yang diberikan kepada kelompok rentan untuk memastikan pemenuhan kebutuhan dasarnya.
Dalam konteks Indonesia, konsep Welfare State diwujudkan melalui sistem jaminan sosial sebagai tulang punggung program kesejahteraan, pemenuhan hak dasar warga negara melalui pembangunan berbasis sumber daya produktif, keadilan ekonomi melalui redistribusi dan koperasi, serta reformasi birokrasi untuk menciptakan pemerintahan yang responsif.
Negara Demokrasi: Kedaulatan Rakyat sebagai Fundamen
Negara Demokrasi merupakan tipe negara yang menempatkan rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi. Secara etimologis, kata demokrasi berasal dari bahasa Yunani: demos yang berarti rakyat dan kratos yang berarti pemerintahan atau kekuasaan. Dengan demikian, demokrasi secara harfiah bermakna “pemerintahan oleh rakyat” di mana rakyat memegang peran sentral dalam penyelenggaraan negara.
Konsep demokrasi pertama kali dipraktikkan di Athena, Yunani Kuno, sekitar abad ke-5 SM, di mana warga pria dewasa dapat berkumpul di ruang publik untuk memberikan suara mengenai undang-undang dan kebijakan negara. Ide revolusioner ini menolak konsepsi tradisional bahwa kekuasaan hanya boleh dipegang oleh raja atau kalangan bangsawan, dan menegaskan bahwa rakyat biasa memiliki kapasitas untuk menentukan nasib negara mereka sendiri.
Namun demikian, demokrasi memiliki banyak pengertian, varian, batasan, dan implementasi yang beragam. Demokrasi tidak hanya satu jenis, melainkan mencakup berbagai bentuk seperti demokrasi langsung, demokrasi perwakilan, demokrasi konstitusional, dan lain-lain. Masing-masing varian ini memiliki mekanisme berbeda dalam mengoperasionalkan prinsip kedaulatan rakyat sesuai dengan konteks historis, budaya, dan kebutuhan masyarakat yang bersangkutan.
Negara demokrasi pada dasarnya adalah negara hukum, dengan ciri-ciri utama meliputi supremasi hukum, jaminan hak asasi manusia, dan legalitas hukum. Dalam negara demokrasi, peraturan perundang-undangan yang berpuncak pada konstitusi merupakan satu kesatuan sistem yang mengikat baik pemerintah maupun rakyat, dengan mekanisme transparansi dan kontrol sosial yang terbuka.
Penutup
Evolusi tipe-tipe negara dari Negara Polisi menuju Negara Hukum Modern, Negara Kesejahteraan, dan Negara Demokrasi mencerminkan perkembangan progresif dalam pemikiran tentang relasi antara kekuasaan dan kebebasan. Setiap tipe negara merupakan respons terhadap kelemahan tipe sebelumnya dan upaya untuk mewujudkan keseimbangan yang lebih baik antara kepentingan negara dan hak-hak warga negara.
Status Theorie Jellinek memberikan kerangka analitis yang berharga untuk memahami dinamika hubungan negara-rakyat dalam berbagai tipe negara. Pergeseran dari hubungan positif-pasif pada Negara Polisi, menuju negatif-aktif pada Negara Hukum Liberal, hingga positif-aktif pada Negara Hukum Materiil, menunjukkan proses dialektis menuju sintesis yang lebih sempurna.
Dalam konteks kontemporer, negara-negara modern umumnya mengadopsi kombinasi elemen dari berbagai tipe negara, menyesuaikan dengan nilai-nilai lokal dan kebutuhan masyarakatnya. Indonesia, misalnya, menganut konsep negara hukum Pancasila yang memadukan elemen Rechtsstaat, The Rule of Law, negara kesejahteraan, dan demokrasi dalam satu kerangka yang berlandaskan pada nilai-nilai Pancasila. Pemahaman mendalam terhadap tipologi negara ini tidak hanya bernilai akademis, tetapi juga esensial bagi upaya membangun tata pemerintahan yang adil, demokratis, dan berorientasi pada kesejahteraan seluruh rakyat.
Leave a Reply