Oleh: Tim Penyusun, Diupdate 13 November 2025
Negara sebagai sebuah entitas politik yang kompleks telah menjadi objek kajian dari berbagai perspektif keilmuan. Pemahaman terhadap hakikat negara tidak dapat dilepaskan dari konteks historis, sosiologis, dan yuridis yang membentuknya. Melalui penelusuran evolusi konsep negara dari masa Yunani Kuno hingga era modern, kita dapat memahami bahwa negara bukan sekadar struktur kekuasaan yang statis, melainkan organisasi dinamis yang terus berkembang sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan perkembangan peradaban manusia. Esai ini menguraikan berbagai teori hakikat negara berdasarkan tinjauan historis, sosiologis, yuridis, serta teori-teori klasik dan modern yang telah membentuk pemahaman kita tentang negara sebagai institusi sosial dan politik.
Tinjauan Historis: Evolusi Konsep Negara
Secara historis, konsep negara telah mengalami transformasi signifikan sejak masa Yunani Kuno hingga era modern. Pada masa Yunani Kuno, negara dikenal dengan istilah polis, yang merujuk pada negara-kota (city state) dengan karakteristik unik seperti sistem demokrasi langsung. Polis berkembang sekitar abad ke-7 SM sebagai entitas politik independen yang memiliki pemerintahan, hukum, dan tentara sendiri. Setiap polis mengembangkan karakteristik tersendiri; Athena dikenal dengan sistem demokrasinya yang menjunjung tinggi kemerdekaan berpendapat, sementara Sparta menerapkan sistem militeristik dengan disiplin keras. Dari konsep polis inilah kemudian lahir pengertian politik dan ilmu politik yang menjadi fondasi kajian kenegaraan hingga saat ini.
Memasuki masa Romawi Kuno, terminologi negara berkembang menjadi “empiri, empirio, empirium” dengan wilayah yang jauh lebih luas (country state) dan penekanan pada aspek pemerintahan (empire). Berbeda dengan polis yang terbatas pada wilayah kota, konsep negara Romawi mencakup teritorial yang luas dengan sistem pemerintahan yang terpusat pada dinasti atau wangsa tertentu. Pola ini terus berkembang hingga masa modern dengan berbagai bentuk seperti kerajaan, kekaisaran, kesultanan, dan kesunanan.
Pada masa Abad Pertengahan, tinjauan terhadap negara bersifat keagamaan dengan menggunakan istilah “civitas” (masyarakat). Agustinus (354-430 M) dalam karyanya City of God membedakan negara menjadi dua konsep: Civitas Dei (negara Tuhan) yang bersifat keagamaan/keilahian, dan Civitas Terrena atau Civitas Diaboli (negara duniawi) yang bersifat keduniawian. Dengan pandangan teokratis-langsungnya, Agustinus berpendirian bahwa civitas terrena harus mendekati civitas Dei yang diatur oleh hukum-hukum Tuhan. Teori ini dikenal sebagai “Teori Matahari-Rembulan“, yang menggambarkan bahwa Tuhan adalah matahari yang sinar keilahiannya menerangi raja/negara sebagai rembulan. Konsep ini memberikan legitimasi religius terhadap kekuasaan negara dan menempatkan gereja sebagai institusi yang memiliki otoritas moral di atas kekuasaan sekuler.
Tinjauan Sosiologis: Negara sebagai Organisasi Sosial
Tinjauan sosiologis terhadap hakikat negara bertitik tolak dari keberadaan manusia yang selalu bermasyarakat, sebagaimana dinyatakan oleh Aristoteles dalam konsep Zoon Politicon (manusia sebagai makhluk sosial). Dalam perspektif ini, negara pada hakikatnya adalah organisasi sosial yang ada dan berdampingan dengan organisasi-organisasi lain dalam masyarakat. Negara dipandang sebagai kenyataan atau gejala sosial yang timbul dari kebutuhan masyarakat.
Negara sebagai institusi sosial tumbuh dalam masyarakat karena diperlukan untuk mengurus, mengatur, dan menyelenggarakan kepentingan masyarakat. Rudolf Smend mengembangkan teori integrasi yang menyatakan bahwa hakikat negara merupakan ikatan keinginan masyarakat yang bersifat statis, namun harus direalisasikan secara terus-menerus melalui faktor-faktor pemersatu. Menurut Smend, fungsi terpenting dari negara adalah untuk integrasi (mempersatukan), dan jika ikatan keinginan tersebut lepas dari negara, maka negara akan lenyap dan menimbulkan separatisme. Realisasi integrasi negara merupakan proses yang terus-menerus dan dinamis, bukan sesuatu yang statis.
Pandangan ini menekankan bahwa negara tidak hanya sebagai struktur formal, tetapi juga sebagai mekanisme yang secara aktif mempersatukan berbagai elemen masyarakat dengan berbagai kepentingan yang berbeda. Faktor-faktor integrasi yang dimaksud Smend mencakup pejabat-pejabat negara, simbol-simbol nasional, dan proses-proses politik yang terus menerus memperkuat kesatuan bangsa.
Tinjauan Yuridis: Negara sebagai Sistem Hukum
Tinjauan yuridis memandang negara sebagai suatu sistem hukum atau tertib norma (legal order), di mana ketertiban negara adalah ketertiban umum. Dalam perspektif ini, negara merupakan suatu tertib norma sehingga konsekuensi logisnya negara memiliki kekuasaan untuk menegakkan norma-norma tersebut.
Padmo Wahyono mengemukakan bahwa negara dapat dicermati dari tiga aspek yuridis:
Pertama, negara sebagai objek hukum, yaitu negara dapat menjadi subjek yang diatur oleh hukum internasional dan berbagai perjanjian antar negara.
Kedua, negara sebagai hasil perjanjian masyarakat, yang merujuk pada teori kontrak sosial di mana negara terbentuk melalui kesepakatan atau perjanjian antara warga masyarakat untuk membentuk organisasi politik.
Ketiga, negara sebagai subjek hukum, yang berarti negara memiliki kapasitas untuk bertindak dalam hubungan hukum, baik di tingkat nasional maupun internasional.
Perspektif yuridis ini menekankan bahwa negara tidak hanya sebagai pemegang kekuasaan, tetapi juga sebagai entitas yang tunduk pada hukum. Negara hukum (rechtsstaat atau rule of law) menempatkan hukum sebagai supremasi tertinggi, di mana pemerintahan harus dijalankan berdasarkan peraturan perundang-undangan dengan jaminan terhadap hak-hak asasi manusia dan pembagian kekuasaan.
Teori Organis: Negara sebagai Organisme Hidup
Teori organis memandang negara sebagai organisasi hidup yang memiliki karakteristik layaknya manusia. Menurut teori ini, negara memiliki kehendak sendiri dan terpengaruh oleh siklus kehidupan: lahir, muda, tua, dan mati. Friedrich Ratzel mengembangkan konsep ini dengan menyatakan bahwa negara sebagai organisme mengalami siklus hidup seperti manusia dan bahwa batas-batas negara hanya bersifat sementara.
Konsep penting dalam teori organis adalah lebensraum (ruang hidup), yang menyatakan bahwa negara memerlukan ruang hidup untuk kelangsungan eksistensinya. Ratzel berpendapat bahwa jika ruang hidup suatu negara sudah tidak sesuai lagi dengan keperluan negara atau bangsa, maka bangsa tersebut dapat mengubah batas-batasnya, baik dengan jalan damai maupun dengan kekerasan melalui perang. Teori ini kemudian dikembangkan oleh Rudolf Kjellén yang mengatakan bahwa negara tidak hanya merupakan organisme, tetapi juga memiliki kemampuan intelektual.
Dalam teori organis, kehendak negara dilaksanakan oleh organ-organ negara yang berfungsi layaknya organ tubuh manusia. Namun teori ini juga mengandung kelemahan karena dapat dijadikan justifikasi untuk ekspansionisme dan imperialisme, sebagaimana terlihat dalam praktik geopolitik yang agresif pada masa lalu.
Teori Dua Sisi: Integrasi Aspek Sosiologis dan Yuridis
Teori dua sisi menawarkan pendekatan yang lebih komprehensif dengan memandang negara dari dua perspektif yang saling melengkapi. Pertama, negara dipandang sebagai “social fact” atau kenyataan sosial yang mencerminkan aspek sosiologis, yaitu sebagai kebulatan sosial dan struktur masyarakat. Kedua, negara dipandang sebagai lembaga hukum yang mencerminkan aspek yuridis, dengan implikasi adanya aturan dan lembaga-lembaga negara.
Pendekatan ini mengakui bahwa negara tidak dapat dipahami hanya dari satu dimensi saja. Negara adalah realitas sosial yang terbentuk dari interaksi manusia dalam masyarakat, sekaligus juga merupakan konstruksi yuridis yang diatur oleh norma-norma hukum. Integrasi kedua aspek ini memberikan pemahaman yang lebih utuh tentang hakikat negara sebagai institusi yang memiliki dimensi sosial sekaligus dimensi normatif.
Teori Modern: Negara dan Bangsa
Teori modern tentang hakikat negara dikembangkan oleh dua pemikir terkemuka dengan perspektif yang berbeda namun saling melengkapi.
R. Kranenburg memandang negara sebagai organisasi yang diciptakan oleh sekelompok manusia yang disebut “bangsa“. Menurut Kranenburg, terlebih dahulu harus ada sekelompok manusia yang memiliki kesadaran bersama untuk mendirikan suatu organisasi dengan tujuan memelihara kepentingan kelompok tersebut. Dalam pandangan ini, bangsa menjadi dasar dari negara, sehingga bangsa bersifat primer (harus ada terlebih dahulu) sedangkan negara bersifat sekunder (menyusul kemudian). Kranenburg menggambarkan proses pembentukan negara sebagai: Bangsa >> Kesadaran bersama membentuk organisasi (kepentingan) >> Negara.
Sebaliknya, J.H.A. Logemann berpendapat bahwa negara adalah organisasi kekuasaan yang menyatukan kelompok manusia yang kemudian disebut “bangsa”. Menurut Logemann, yang primer adalah organisasi kekuasaannya (negara), sedangkan kelompok manusianya (bangsa) adalah sekunder. Organisasi negara menciptakan bangsa, sehingga bangsa tergantung pada organisasi negara. Negara memiliki kewibawaan (gezag) yang dapat memaksakan kehendaknya kepada semua orang yang menjadi warga dari organisasi kekuasaan tersebut. Logemann menggambarkan proses ini sebagai: Negara >> Memiliki Kekuasaan >> Memaksa >> Bangsa.
Perbedaan pandangan antara Kranenburg dan Logemann mencerminkan dua pendekatan yang berbeda dalam memahami hubungan antara negara dan bangsa. Kranenburg menekankan aspek kehendak kolektif rakyat (bottom-up), sementara Logemann menekankan aspek otoritas dan kekuasaan negara (top-down). Kedua teori ini memberikan kontribusi penting dalam memahami dinamika pembentukan negara modern, di mana pada praktiknya terdapat interaksi timbal balik antara kesadaran kolektif bangsa dan struktur kekuasaan negara.
Penutup
Pemahaman terhadap hakikat negara memerlukan pendekatan multidimensional yang mengintegrasikan perspektif historis, sosiologis, dan yuridis. Dari tinjauan historis, kita melihat evolusi konsep negara dari polis Yunani Kuno, empiri Romawi, civitas Abad Pertengahan, hingga bentuk-bentuk negara modern. Tinjauan sosiologis menekankan negara sebagai organisasi sosial yang berfungsi mengintegrasikan kepentingan masyarakat, sementara tinjauan yuridis menempatkan negara sebagai sistem hukum yang memiliki kekuasaan untuk menegakkan ketertiban.
Teori-teori klasik seperti teori organis dan teori dua sisi memberikan kerangka pemahaman tentang sifat dan karakteristik negara, meskipun dengan berbagai keterbatasannya. Sementara itu, teori modern dari Kranenburg dan Logemann menawarkan perspektif kontemporer tentang hubungan dialektis antara negara dan bangsa. Kranenburg menempatkan bangsa sebagai entitas primer yang menciptakan negara, sedangkan Logemann membalikkan urutan tersebut dengan menjadikan negara sebagai organisasi kekuasaan yang menyatukan bangsa.
Pada akhirnya, hakikat negara tidak dapat dipahami secara tunggal dari satu perspektif saja. Negara adalah fenomena kompleks yang mencakup dimensi historis, sosiologis, yuridis, dan politis secara bersamaan. Negara adalah hasil dari proses historis yang panjang, merupakan organisasi sosial yang mengatur kepentingan masyarakat, sekaligus sistem hukum yang menegakkan ketertiban dan keadilan. Pemahaman komprehensif ini penting bagi pengembangan teori kenegaraan yang relevan dengan dinamika masyarakat modern, serta bagi praktik penyelenggaraan negara yang demokratis, berkeadilan, dan berorientasi pada kesejahteraan rakyat.
Leave a Reply