Oleh: Tim Penyusun, Diupdate 11 Februari 2024
Sistem pemerintahan merupakan salah satu aspek fundamental dalam ketatanegaraan yang menentukan bagaimana kekuasaan negara dijalankan dan dipertanggungjawabkan. Indonesia sebagai negara yang merdeka pada tahun 1945 telah mengalami dinamika panjang dalam penerapan sistem pemerintahannya, mulai dari perdebatan awal para pendiri negara hingga penegasan sistem presidensial pasca reformasi. Para pendiri negara Indonesia menggagas model pemerintahan sendiri yang khas untuk bangsa Indonesia, gagasan ini kemudian memicu perdebatan di kalangan ahli ketatanegaraan mengenai apakah UUD 1945 menganut sistem presidensial murni atau sistem campuran. Perjalanan konstitusi Indonesia melalui empat periode berbeda—UUD 1945, Konstitusi RIS 1949, UUDS 1950, dan UUD 1945 Amandemen—memberikan pembelajaran berharga tentang pencarian sistem pemerintahan yang paling sesuai dengan karakteristik bangsa Indonesia.
Perdebatan Sistem Pemerintahan dalam UUD 1945 Sebelum Perubahan
UUD 1945 yang disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh PPKI telah memunculkan perdebatan panjang di kalangan ahli hukum tata negara mengenai sistem pemerintahan yang dianutnya. Perdebatan ini menghasilkan dua kelompok pandangan utama: kelompok yang berpendapat bahwa UUD 1945 menganut sistem presidensial, dan kelompok yang melihat adanya karakteristik campuran dalam sistem tersebut.
Pandangan Sistem Presidensial
Bagir Manan berpendapat bahwa UUD 1945 menganut sistem presidensial dengan argumentasi bahwa pertanggungjawaban presiden kepada MPR bukanlah pertanggungjawaban kepada lembaga legislatif, melainkan merupakan upaya checking and balancing. Menurutnya, unsur parlementer sama sekali tidak ada dalam UUD 1945. Bagir Manan menegaskan bahwa dengan hanya mengenal satu macam eksekutif, yaitu eksekutif riil dan tunggal yang dijalankan presiden, maka UUD 1945 menganut sistem presidensial.
Senada dengan Bagir Manan, A. Hamid S. Attamimi menyebut sistem yang dianut UUD 1945 sebagai sistem presidensial murni, meskipun berbeda dengan sistem presidensial Amerika Serikat karena cita negara dan teori bernegara yang berbeda. Indonesia menganut prinsip bahwa presiden memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar, yang mencerminkan karakteristik presidensial yang khas Indonesia.
Beberapa argumen yang mendukung pandangan presidensial antara lain:
- Presiden adalah kepala pemerintahan sekaligus kepala negara
- Masa jabatan presiden bersifat pasti (lima tahun)
- Presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR
- Presiden tidak dapat membubarkan DPR
- Menteri-menteri bertanggung jawab kepada presiden
Pandangan Sistem Campuran
Di sisi lain, Sri Soemantri berpendapat bahwa UUD 1945 menganut sistem pemerintahan campuran. Pendapat ini didasarkan pada penjelasan UUD 1945 yang menunjukkan adanya pengawasan langsung legislatif terhadap eksekutif, yang mencerminkan segi parlementer. Namun, UUD 1945 juga mengandung anasir presidensial karena presiden adalah pemegang kekuasaan pemerintahan dan kepala negara.
Sri Soemantri mengemukakan beberapa karakteristik yang menunjukkan sistem campuran dalam UUD 1945 sebelum perubahan:
| No | Karakteristik Sistem Campuran |
|---|---|
| 1 | Presiden dipilih dan diangkat oleh MPR |
| 2 | Presiden adalah mandataris atau kuasa dari MPR |
| 3 | MPR pemegang kekuasaan negara tertinggi |
| 4 | Presiden tunduk dan bertanggung jawab kepada MPR |
| 5 | Presiden untergeordnet (berada di bawah) MPR |
Karakteristik Presidensial Longgar
Saldi Isra (2010) memberikan perspektif berbeda dengan menyatakan bahwa sistem pemerintahan di bawah UUD 1945 sebelum perubahan memiliki karakteristik presidensial yang lebih longgar. Hal ini ditunjukkan oleh beberapa ciri: tidak ada pemisahan antara kepala negara dan kepala pemerintahan, presiden tidak dapat membubarkan lembaga legislatif, dan menteri-menteri bertanggung jawab kepada presiden. Karakteristik ini menunjukkan bahwa para pendiri negara tidak menganut sistem presidensial secara utuh, melainkan mengembangkan model yang khas Indonesia.
Pergeseran ke Sistem Parlementer Pasca Kemerdekaan
Meskipun UUD 1945 yang disahkan pada 18 Agustus 1945 mencantumkan Indonesia sebagai negara yang menganut sistem presidensial, dalam praktiknya terjadi pergeseran signifikan hanya dalam waktu tiga bulan setelah kemerdekaan. Pergeseran ini terjadi melalui serangkaian maklumat yang mengubah konstelasi kekuasaan di awal kemerdekaan.
Peran PPKI dan Pembentukan KNIP
PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) memiliki peran fundamental dalam pembentukan struktur ketatanegaraan awal Indonesia. PPKI mengesahkan UUD 1945, memilih presiden dan wakil presiden, serta membentuk alat kelengkapan negara seperti BKR (Badan Keamanan Rakyat) dan KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat). Setelah lembaga-lembaga ini berfungsi, PPKI kemudian bubar.
KNIP pada awalnya dibentuk untuk membantu presiden menjalankan pemerintahan sebelum MPR, DPR, dan DPA terbentuk. Namun, melalui Maklumat Wakil Presiden No. X tanggal 16 Oktober 1945, KNIP diserahi kekuasaan legislatif dan wewenang untuk menetapkan GBHN (Garis-Garis Besar Haluan Negara).
Maklumat Wakil Presiden No. X dan Perubahan Sistem
Maklumat Wakil Presiden No. X tahun 1945 merupakan titik balik penting dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia. Maklumat ini dilatarbelakangi oleh beberapa faktor:
- Adanya kesan bahwa kekuasaan presiden terlalu besar sehingga dikhawatirkan akan menjadi pemerintahan yang bersifat diktator
- Propaganda Belanda melalui NICA yang menyiarkan isu bahwa pemerintahan RI adalah pemerintahan fasis yang menganut sistem pemerintahan Jepang
Dengan disahkannya Maklumat X, kekuasaan presiden dibatasi hanya dalam bidang eksekutif, sementara KNIP berubah dari badan pembantu presiden menjadi badan yang sederajat dengan kepresidenan dan berfungsi sebagai pengganti DPR dan MPR sebelum lembaga-lembaga tersebut terbentuk.
BP KNIP (Badan Pekerja KNIP) yang dipimpin oleh Sutan Sjahrir kemudian mengusulkan pembentukan partai politik, yang ditindaklanjuti dengan Maklumat Pemerintah 3 November 1945. Maklumat ini memicu berdirinya sekitar 40 partai politik dan merupakan tonggak awal demokrasi Indonesia. Selanjutnya, pada 14 November 1945 dibentuk Kabinet Semi-Presidensial atau Semi-Parlementer pertama dengan Sultan Sjahrir sebagai Perdana Menteri, menandai perubahan sistem pemerintahan dari presidensial menjadi parlementer.
Sistem Pemerintahan dalam Konstitusi RIS 1949
Konstitusi RIS mulai berlaku pada tanggal 27 Desember 1949 sebagai hasil dari Konferensi Meja Bundar. Dalam Konstitusi RIS 1949, Indonesia secara tegas menganut sistem pemerintahan parlementer dengan karakteristik yang sangat berbeda dari UUD 1945.
Kedudukan Presiden dan Perdana Menteri
Dalam sistem parlementer Konstitusi RIS, presiden hanya berkedudukan sebagai Kepala Negara, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 69 Ayat (1): “Presiden ialah Kepala Negara”. Sementara itu, kekuasaan pemerintahan atau eksekutif dipegang oleh Perdana Menteri yang memimpin kabinet. Dengan demikian, terdapat pemisahan yang jelas antara fungsi kepala negara dan kepala pemerintahan.
Pertanggungjawaban Menteri
Salah satu ciri utama sistem parlementer dalam Konstitusi RIS adalah bahwa menteri-menteri bertanggung jawab atas segala tindakan pemerintah, sementara presiden tidak bisa dimintai pertanggungjawaban. Keterlibatan presiden dalam pemerintahan hanya bersifat formalitas untuk sekadar mengetahui. Prinsip “The King can do no wrong” diterapkan, di mana presiden tidak dapat diganggu gugat atas kebijakan pemerintahan.
Meskipun Konstitusi RIS memberlakukan sistem parlementer, terdapat beberapa penyimpangan dalam praktiknya. Pemerintahan RIS yang pertama kali dibentuk tidak dijalankan berdasarkan sistem parlementer murni, karena parlemen tidak dapat memaksa kabinet atau menteri mengundurkan diri berdasarkan suatu mosi tidak percaya.
Perlu dicatat bahwa meskipun Konstitusi RIS berlaku secara nasional, UUD 1945 tetap berlaku di Negara Bagian Republik Indonesia dengan wilayah Yogyakarta sebagai ibu kota. Kondisi dualisme konstitusional ini mencerminkan masa transisi politik yang kompleks, dan banyak aspirasi muncul dari berbagai pihak untuk kembali bersatu dalam NKRI.
Sistem Pemerintahan dalam UUD Sementara 1950
Pada tanggal 17 Agustus 1950, Indonesia kembali menjadi negara kesatuan dengan diberlakukannya UUD Sementara 1950 yang juga menganut sistem pemerintahan parlementer. Periode ini dikenal juga sebagai masa Demokrasi Liberal yang berlangsung hingga 5 Juli 1959.
Kedudukan Menteri yang Lebih Tinggi
Dalam UUDS 1950, kedudukan menteri mengalami peningkatan yang signifikan dibandingkan dengan UUD 1945. Menteri-menteri tidak lagi sekadar pembantu presiden, melainkan menjadi bagian dari alat kelengkapan negara. Alat kelengkapan negara menurut UUDS 1950 meliputi:
- Presiden dan Wakil Presiden
- Menteri-menteri
- Dewan Perwakilan Rakyat
- Mahkamah Agung
- Dewan Pengawas Keuangan
Kewenangan Menteri yang Luas
Menteri-menteri dalam sistem UUDS 1950 memiliki kewenangan yang sangat besar dalam berbagai bidang strategis:
- Pembuatan undang-undang bersama DPR
- Penyusunan dan pengelolaan anggaran negara
- Penerbitan mata uang
- Hubungan luar negeri dan diplomasi
Perdana Menteri memimpin menteri-menteri dan bertanggung jawab kepada parlemen, sementara presiden sebagai Kepala Negara tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas kebijakan pemerintahan. Sebagai bentuk jaminan khusus, menteri hanya bisa diadili oleh Mahkamah Agung pada tingkat pertama dan tertinggi.
Ketidakstabilan Pemerintahan
Masa Demokrasi Parlementer di bawah UUDS 1950 ditandai dengan ketidakstabilan pemerintahan yang tinggi. Kabinet-kabinet yang menjalankan pemerintahan cenderung tidak bertahan lama dan sering berganti akibat mosi tidak percaya dari partai-partai politik di parlemen. Kondisi ini menyebabkan pembangunan nasional tidak berjalan optimal karena masing-masing pihak lebih memperhatikan kepentingan partai atau golongannya.
Ketidakstabilan ini akhirnya berujung pada dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 oleh Presiden Soekarno. Dekrit tersebut berisi:
- Pembubaran Konstituante hasil Pemilu 1955
- Pemberlakuan kembali UUD 1945 menggantikan UUDS 1950
- Pembentukan MPRS yang terdiri dari anggota DPR ditambah utusan daerah dan golongan
Dekrit ini menandai berakhirnya Demokrasi Parlementer dan dimulainya Era Demokrasi Terpimpin di Indonesia.
Penegasan Sistem Presidensial dalam UUD 1945 Setelah Perubahan
Era reformasi tahun 1998 membawa perubahan fundamental dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, termasuk penegasan sistem presidensial dalam UUD 1945. Amandemen UUD 1945 yang dilakukan empat kali antara tahun 1999-2002 menghasilkan penegasan dan penguatan sistem pemerintahan presidensial.
Pemisahan Kekuasaan yang Jelas
Dalam UUD 1945 pasca amandemen, presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan terpisah secara tegas dari parlemen. Presiden dan parlemen memiliki legitimasi politik yang sama karena sama-sama dipilih langsung oleh rakyat. Pemisahan kekuasaan ini mengikuti prinsip separation of powers yang menjadi ciri utama sistem presidensial.
Ciri-ciri Sistem Presidensial Pasca Amandemen
Menurut Sri Soemantri, ciri-ciri sistem pemerintahan presidensial dalam UUD 1945 pasca amandemen meliputi:
- Presiden dan wakil presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat
- Presiden tidak lagi bertanggung jawab kepada MPR karena lembaga ini tidak lagi sebagai pelaksana kedaulatan rakyat
Pokok-pokok sistem pemerintahan Indonesia menurut UUD 1945 pasca amandemen adalah:
| Aspek | Ketentuan |
|---|---|
| Bentuk Negara | Kesatuan dengan prinsip otonomi daerah yang luas |
| Bentuk Pemerintahan | Republik |
| Sistem Pemerintahan | Presidensial |
| Pemilihan Presiden | Langsung oleh rakyat |
| Pertanggungjawaban Menteri | Kepada Presiden |
| Fungsi DPR | Pembentukan undang-undang dan pengawasan |
Mekanisme Checks and Balances
Meskipun sistem presidensial ditegaskan, UUD 1945 pasca amandemen tetap mengakomodasi mekanisme checks and balances untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan. Beberapa mekanisme tersebut meliputi:
- Kewenangan DPR dalam pengawasan: DPR memiliki fungsi pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang dan kebijakan pemerintah
- Mekanisme pemakzulan: MPR atas usul DPR dapat memberhentikan presiden dalam masa jabatannya melalui prosedur konstitusional yang melibatkan Mahkamah Konstitusi
- Persetujuan DPR: Presiden memerlukan persetujuan DPR untuk pengangkatan pejabat tertentu dan penetapan kebijakan penting
Mekanisme saling mengawasi dan mengimbangi ini tercipta tanpa mengganggu masa jabatan presiden yang bersifat tetap. Upaya hukum dan politik terus dilakukan untuk mempertegas sistem presidensial, memastikan wewenang pemerintah di bawah presiden dan fungsi pengawasan DPR berjalan sesuai amanat konstitusi.
Penutup
Perjalanan sistem pemerintahan Indonesia mencerminkan dinamika pencarian identitas ketatanegaraan yang sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan bangsa. Dari perdebatan awal para pendiri negara tentang sistem presidensial atau campuran, pergeseran ke sistem parlementer melalui Maklumat Wakil Presiden No. X, penerapan sistem parlementer dalam Konstitusi RIS 1949 dan UUDS 1950, hingga penegasan sistem presidensial pasca reformasi—semuanya merupakan bagian dari proses pembelajaran bangsa dalam menata kehidupan bernegaranya.
Pengalaman dengan sistem parlementer pada masa Demokrasi Liberal yang menghasilkan ketidakstabilan pemerintahan menjadi pelajaran berharga bahwa sistem pemerintahan harus disesuaikan dengan kondisi sosial-politik masyarakat. Penegasan sistem presidensial dalam UUD 1945 pasca amandemen merupakan pilihan sadar untuk menciptakan pemerintahan yang stabil namun tetap demokratis melalui mekanisme checks and balances yang memadai.
Namun demikian, tantangan dalam penerapan sistem presidensial di Indonesia tetap ada, terutama terkait dengan kombinasi sistem presidensial dengan sistem multipartai yang dapat menimbulkan potensi political deadlock antara presiden dan DPR. Oleh karena itu, konsolidasi sistem presidensial harus terus dilakukan melalui penguatan kelembagaan, penyempurnaan regulasi, dan pembangunan budaya politik yang mendukung stabilitas demokrasi. Pemahaman yang komprehensif terhadap sejarah dan dinamika sistem pemerintahan Indonesia menjadi modal penting bagi upaya membangun tata pemerintahan yang efektif, demokratis, dan berorientasi pada kesejahteraan rakyat.
Leave a Reply