Oleh: Tim Penyusun, Diupdate 11 Februari 2024
Ilmu Negara merupakan salah satu cabang ilmu yang menjadi fondasi bagi pemahaman tentang organisasi kekuasaan tertinggi dalam masyarakat. Sebagai disiplin ilmu yang bersifat teoritis, umum, dan universal, Ilmu Negara mempelajari negara secara abstrak dan konseptual tanpa terikat pada waktu dan tempat tertentu. Pemahaman yang komprehensif terhadap Ilmu Negara tidak hanya penting bagi pengembangan teori-teori kenegaraan, tetapi juga menjadi prasyarat untuk mempelajari ilmu-ilmu hukum positif seperti Hukum Tata Negara (HTN) dan Hukum Administrasi Negara (HAN). Esai ini akan menguraikan secara sistematis tentang definisi dan asal-usul istilah negara, objek dan metode kajian Ilmu Negara, sifat-sifat khusus negara, evolusi historis pembentukan negara dari masa prasejarah hingga era kontemporer, serta tantangan yang dihadapi negara di era globalisasi.
Definisi Negara dan Negara-Bangsa
Konsep Negara sebagai Komunitas yang Dibayangkan
Negara-bangsa adalah komunitas yang dibayangkan (imagined community) karena komunitas tersebut ada dalam benak rakyatnya. Meskipun para anggota suatu bangsa tidak saling mengenal satu sama lain secara personal, mereka memiliki identitas, budaya, bahasa, atau sejarah yang sama yang mengikat mereka bersama. Konsep ini dipopulerkan oleh Benedict Anderson dalam karyanya Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism (1983), yang mendefinisikan bangsa sebagai “komunitas politik yang dibayangkan—dan dibayangkan sebagai sesuatu yang secara inheren terbatas dan berdaulat”.
Dalam banyak kasus, komunitas bangsa yang dibayangkan mendahului pembentukan negara secara formal. Rasa memiliki terhadap suatu bangsa sering kali memotivasi keinginan untuk memerintah diri sendiri (self-determination), yang mengarah pada pembentukan negara yang mewakili dan memerintah komunitas tersebut. Ketika orang-orang mulai mengidentifikasi diri secara kuat dengan bangsanya, mereka berusaha untuk menciptakan entitas politik—negara—yang mencerminkan dan mewujudkan identitas nasional mereka. Pembentukan negara-bangsa dengan demikian menjadi manifestasi politik dari komunitas yang dibayangkan.
Anderson menjelaskan bahwa pemicu utama nasionalisme adalah hilangnya keeksklusifan bahasa tertentu (misalnya Latin) karena masyarakat semakin melek huruf dalam bahasa rakyat, gerakan penghapusan pemerintahan berbasis agama dan kerajaan, serta munculnya kapitalisme mesin cetak (print capitalism) yang memungkinkan standardisasi kalender, jam, dan bahasa nasional melalui buku dan surat kabar harian.
Asal-Usul Istilah Negara
Istilah kontemporer “negara” atau “state” berasal dari kata Latin “status“. Perkembangan penggunaan istilah ini dapat ditelusuri melalui karya-karya pemikir klasik dari berbagai tradisi:
Niccolò Machiavelli adalah pemikir pertama yang menggunakan istilah “stati” atau “lo stato” dalam bahasa Italia, yang dapat ditemukan dalam bukunya The Prince (1532). Machiavelli menggunakan istilah stati/lo stato dalam arti kekuasaan suatu pemerintahan dan cara bagaimana penguasa (the prince) mempertahankan kekuasaannya.
Dalam literatur Prancis, istilah “état” pertama kali digunakan oleh Jean Bodin dalam karyanya Les Six Livres de la République (1576), di mana istilah état dikonotasikan dengan istilah République.
Di Inggris, istilah “state” muncul dalam karya Thomas Hobbes berjudul Leviathan (1651) dan John Locke berjudul Two Treatises of Government (1698). Hobbes menggunakan istilah State secara sinonim dengan istilah “Commonwealth” yang berarti lembaga pemerintahan (the body of government) buatan manusia. Sementara Locke menggunakan istilah “state” dalam pengertian kondisi (condition), sebagai ekspresi dari hubungan-hubungan atau keadaan-keadaan tertentu.
Ilmu Negara: Definisi dan Sistematika
Pengertian Ilmu Negara
Secara garis besar, Ilmu Negara adalah ilmu yang menyelidiki sifat, hakikat, struktur, bentuk, asal-usul, ciri, dan seluruh persoalan yang melingkupi negara. Istilah Ilmu Negara diperkenalkan oleh tradisi pendidikan hukum Belanda selama periode kolonial di sekolah-sekolah hukum Belanda dan Rechthogeschool di Batavia/Jakarta. Belanda menggunakan istilah “staatsleer” yang diadopsi dari tradisi pendidikan hukum Jerman “staatslehre“.
Kemunculan Ilmu Negara sebagai disiplin ilmiah tidak dapat dilepaskan dari kontribusi pakar hukum Jerman, Georg Jellinek (1851-1911), melalui bukunya Allgemeine Staatslehre (Ilmu Negara Umum). Pemikiran Jellinek inilah yang diadopsi oleh pendidikan hukum Belanda dan kemudian diadopsi dalam pendidikan hukum Indonesia hingga saat ini. Georg Jellinek dianggap sebagai Bapak Ilmu Negara karena jasanya dalam menyusun sistematika ilmu-ilmu kenegaraan (staatswissenschaft) secara lengkap dan teratur.
Bagi Jellinek, negara adalah organisasi kekuasaan dari sekelompok manusia yang telah mendiami suatu wilayah tertentu. Ia juga menyatakan bahwa “the state is the most important social manifestation of the expression of the human will” (negara adalah manifestasi sosial terpenting dari ekspresi kehendak manusia).
Sistematika Ilmu Negara Menurut Georg Jellinek
Georg Jellinek dalam Allgemeine Staatslehre menciptakan sistematika yang lengkap dan teratur untuk menjelaskan ilmu tentang negara. Ia membagi ilmu kenegaraan (Staatswissenschaft) dalam arti luas menjadi dua bagian besar:
Pertama, Staatswissenschaft (dalam arti sempit), yaitu ilmu pengetahuan mengenai negara di mana dalam penyelidikannya menekankan negara sebagai objeknya. Staatswissenschaft dibagi menjadi tiga bagian:
- Beschreibende Staatswissenschaft (Staatskunde): ilmu kenegaraan yang bersifat deskriptif, hanya menggambarkan dan menceritakan peristiwa-peristiwa yang terjadi yang berhubungan dengan negara.
- Theoretische Staatswissenschaft (Staatslehre): mengadakan penyelidikan lebih lanjut dari bahan-bahan yang dikumpulkan oleh Staatskunde dengan analisis-analisis mendalam.
- Praktische Staatswissenschaft: ilmu politik praktis yang merupakan penerapan dari teori-teori kenegaraan.
Kedua, Rechtswissenschaft (ilmu pengetahuan hukum), yang memfokuskan pada aspek-aspek hukum dari negara.
Dalam membahas Ilmu Negara Umum, Jellinek mengembangkan Teori Dua Segi (Zweiseiten Theorie), yaitu meninjau negara dari dua segi: segi sosiologis dan segi yuridis. Segi sosiologis melihat negara sebagai bangunan masyarakat atau negara sebagai suatu kebulatan (Ganzheit), sedangkan segi yuridis melihat negara dalam strukturnya atau negara sebagai suatu bangunan hukum.
Objek Kajian Ilmu Negara
Objek pembahasan Ilmu Negara adalah mempelajari “negara” secara abstrak dan konseptual, serta tidak terikat pada waktu dan tempat tertentu. Ilmu Negara bersifat teoritis, umum, dan universal. Sebagaimana dikemukakan oleh Thomas Vesting, “staatslehre is not a purely legal discipline in the strict sense“, karena ilmu ini mengandalkan kontrak dan pertukaran dengan disiplin-disiplin tetangga lainnya. Negara, alasan negara (reasons of state), dan kedaulatan menjadi objek refleksi politik, hukum, dan filosofis yang tidak dapat sepenuhnya dimasukkan ke dalam satu bidang akademik seperti ilmu politik atau hukum semata.
Metode dan Aspek Kajian Ilmu Negara
Aspek Yuridis-Normatif
Aspek yuridis-normatif dalam Ilmu Negara berkaitan dengan theory of constitutional law, yang membahas realitas hukum dari negara (the legal reality of the state). Pendekatan ini mencakup beberapa metode:
Metode Deduktif: didasarkan pada kaidah-kaidah atau norma-norma umum yang bersifat universal untuk menjelaskan keragaman fenomena negara.
Metode Filosofis: mengkaji negara secara abstrak-ideal dengan dimensi filsafat hukum dan politik yang dominan.
Metode Sistematis: mensistematisasikan topik secara kritis dikombinasikan dengan data yang telah diperoleh.
Metode Hukum (lex scripta/lex non-scripta): melihat peraturan perundang-undangan yang berlaku (existing) di suatu negara.
Aspek Sosiologis
Aspek sosiologis dalam Ilmu Negara berkaitan dengan general social theory of the state yang mengambil realitas sosial dan historis negara sebagai subjek kajiannya. Beberapa pendekatan dalam aspek sosiologis meliputi:
Pendekatan Historis: mencermati evolusi negara dari waktu ke waktu, termasuk mempelajari sistem pemerintahan di suatu negara.
Pendekatan Komparatif: menjelaskan adanya perbedaan (praesumptio distinctio) di balik persamaan/kemiripan negara, dengan membandingkan satu negara dengan negara lain. Contohnya adalah membandingkan evolusi negara antara Indonesia dengan beberapa negara di Asia Tenggara.
Pendekatan Dialektis: mempelajari secara dialektis dengan mengkonfrontasikan atau mengkontraskan fakta-fakta tertentu satu sama lain.
Pendekatan Fungsional: melihat fungsi, peran, dan alasan mengapa negara diperlukan oleh masyarakatnya.
Pendekatan Sinkretis: mengkombinasikan aspek sosio-ekonomi dan politik yang relevan dan mempengaruhi negara.
Hubungan Ilmu Negara dengan HTN dan HAN
Ilmu Negara memiliki hubungan yang erat dengan Hukum Tata Negara (HTN) dan Hukum Administrasi Negara (HAN), meskipun ketiganya memiliki karakteristik yang berbeda.
HTN dan HAN mempelajari negara secara konkret yang terikat pada waktu dan tempat tertentu. Kedua ilmu ini memiliki nilai praktis yang dapat diterapkan langsung dalam praktik kenegaraan dengan mempelajari hukum positif di negara tertentu, seperti Indonesia, China, Amerika Serikat, dan sebagainya.
Sebaliknya, Ilmu Negara menjadi pengantar untuk mempelajari HTN dan HAN dengan memberikan dasar-dasar teoritis untuk HTN dan HAN yang bersifat positif dan konkret. Konsep-konsep dalam Ilmu Negara seperti bentuk negara, distribusi/pemisahan kekuasaan, demokrasi, rule of law, dan budaya politik digunakan untuk memahami hukum positif tata negara dan administrasi negara.
Sifat-Sifat Khusus Negara
Negara sebagai organisasi kekuasaan tertinggi memiliki beberapa sifat khusus yang membedakannya dari organisasi-organisasi lain dalam masyarakat:
Sifat Memaksa
Negara memiliki kekuasaan untuk memakai kekerasan fisik secara legal. Negara dapat menggunakan sarana-sarana seperti polisi, tentara, dan aparat penegak hukum lainnya agar peraturan perundangan ditaati, sehingga ketertiban masyarakat tercapai dan anarki dapat dicegah. Sifat memaksa ini merupakan karakteristik esensial yang membedakan negara dari organisasi sosial lainnya.
Sifat Monopoli
Negara memiliki hak tunggal atau monopoli untuk menetapkan tujuan-tujuan bersama dalam masyarakat. Hal ini mencakup penetapan asas atau ideologi negara, kebijakan umum, dan arah pembangunan nasional. Tidak ada organisasi lain dalam masyarakat yang memiliki otoritas serupa untuk menetapkan tujuan-tujuan kolektif yang mengikat seluruh warga negara.
Sifat Mencakup Semua (Hegemonik)
Kekuasaan negara bersifat hegemonik dalam arti kekuasaan negara meliputi dan mengatasi semua kekuasaan organisasi atau entitas lainnya yang ada di masyarakat. Tidak ada organisasi atau kekuatan sosial apapun yang berada di atas negara dalam wilayah kedaulatannya. Sifat ini menegaskan supremasi negara sebagai otoritas tertinggi dalam struktur kekuasaan masyarakat.
Asal-Usul dan Evolusi Historis Negara
Fase Prasejarah
Martin van Creveld membagi fase prasejarah negara (sekitar 10.000 SM) menjadi dua tahapan:
Pertama, Tribe without Rulers (masyarakat tanpa penguasa): masyarakat yang bersifat nomadik, didasarkan pada hubungan famili, keturunan, atau klan. Contoh masyarakat ini adalah masyarakat tribal Eskimo di Kanada, Greenland, dan Alaska, serta Kalahari Bushmen.
Kedua, Tribe with Rulers (masyarakat dengan penguasa/chiefdoms): masyarakat yang diatur oleh individu tertentu yang bertindak dan memiliki hak untuk memimpin. Contohnya adalah masyarakat tribal Zulu di Afrika Selatan, suku-suku Skandinavia (Viking), dan suku-suku Germanik (zaman besi pra-Romawi).
Konteks masyarakat prasejarah dikarakterisasikan oleh tatanan masyarakat pemburu dan peramu (hunter-gatherer) yang fleksibel dan berpindah-pindah, yang kemudian bergeser ke masyarakat pertanian/agraria di era Neolitikum. Pergeseran menuju revolusi agrikultur memungkinkan masyarakat mendapatkan produksi pangan dan tempat tinggal semi-permanen. Pergeseran ini menciptakan pembagian kerja di antara komunitas masyarakat dan mendorong perubahan hierarki sosial serta institusi sosial untuk membentuk semacam pemerintahan dalam dimensi yang sederhana.
Negara-Kota (City-States)
Konsep negara-kota adalah konsep organisasi politik dalam sejarah manusia yang ditandai dengan entitas yang independen dan berdaulat. Negara-kota umumnya berbentuk satu perkotaan dengan teritori lahan pertanian dan pedesaan skala kecil.
Karakteristik negara-kota meliputi:
- Independen dan bukan bagian dari kerajaan tertentu
- Memiliki pemerintahan, hukum, dan militer sendiri
- Memiliki kontrol teritorial
- Mampu memenuhi kebutuhan ekonomi untuk mendukung seluruh populasi
- Memiliki identitas kultural tertentu yang dipengaruhi oleh kebiasaan, agama, dan norma sosial yang berbeda dengan peradaban lain
Contoh negara-kota dalam sejarah meliputi Mesopotamia, Mesir di bawah Firaun, Lembah Indus (Asia Selatan), Athena dan Sparta di Yunani, serta Venesia.
Negara dalam Sistem Feodalisme dan Abad Pertengahan
Martin van Creveld mengklasifikasikan tahun 500-1500an sebagai tahun evolusi awal institusi negara menuju modernisme. Menyusul kejatuhan Kekaisaran Roma, Eropa memasuki sistem feodalisme yang ditandai dengan munculnya penguasa lokal yang menguasai tanah dan membentuk pemerintahan monarki yang dipengaruhi oleh kekuatan Gereja.
Sementara itu, pada abad ke-7, kekhalifahan Islam muncul seperti Kekhalifahan Umayyah (661-750 M) dan Abbasiyah (750-1258 M). Model negara kekhalifahan mengkombinasikan unsur teokratisme Islam, otoritas politik, dan multikulturalisme dengan sistem administrasi yang luas.
Kebangkitan Negara-Bangsa Modern
Pada awal masa modernisasi yang menandai era Pencerahan (Enlightenment), konsep negara-bangsa mulai muncul di Eropa pada abad ke-17. Kekuasaan monarki di negara-negara seperti Prancis dan Spanyol mulai mengurangi pengaruh Gereja dalam pemerintahan.
Tahapan penting dalam periode ini ditandai dengan munculnya Perjanjian Westphalia (1648) yang mengakhiri Perang Tiga Puluh Tahun antara Kaisar Romawi Suci Ferdinand I beserta Kerajaan Spanyol, Prancis, Swedia, dan Belanda. Perjanjian ini menetapkan prinsip kedaulatan negara dan penghapusan campur tangan negara lain terhadap suatu urusan internal, sekaligus meletakkan dasar bagi sistem internasional di Eropa.
Kedaulatan Westphalia adalah konsep kedaulatan negara-bangsa di teritorinya sendiri tanpa campur tangan agen asing dalam struktur domestiknya. Sistem Westphalia dianggap menandakan awal dari hubungan internasional dan negara modern. Prinsip-prinsip utama Perjanjian Westphalia meliputi:
- Prinsip kedaulatan negara dan hak atas penentuan nasib sendiri
- Prinsip kesetaraan hukum antar negara
- Prinsip non-intervensi suatu negara terhadap urusan dalam negeri negara lainnya
Pada saat yang sama, negara-negara Eropa mulai memperluas pengaruhnya secara global melalui kolonialisme dan imperialisme di Asia, Afrika, dan Amerika, yang turut mempengaruhi perkembangan masyarakat di wilayah jajahan.
Negara Modern pada Abad ke-19 dan ke-20
Beberapa faktor penting membentuk negara modern pada abad ke-19 dan ke-20:
Revolusi Industri dan Kebangkitan Nasionalisme: Revolusi industri membawa perubahan ekonomi dan sosial yang berkontribusi pada pembentukan negara modern. Kondisi ini juga memicu kebangkitan nasionalisme sebagai ideologi yang melandasi pembentukan negara-negara modern.
Perang Dunia I dan II: Kedua perang dunia ini menjadi faktor penentu pembentukan negara modern pada abad ke-20. League of Nations dan United Nations dibentuk untuk mengelola hubungan internasional dan memajukan perdamaian global.
Dekolonisasi: Setelah Perang Dunia II berakhir pada 1945, masyarakat di wilayah jajahan mulai melakukan agenda dekolonisasi yang menyebabkan munculnya negara-negara baru di Asia, Afrika, dan Amerika Latin.
Tantangan Negara di Era Kontemporer
Dampak Globalisasi
Pada akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21, globalisasi membawa dampak signifikan terhadap eksistensi dan konsep negara. Ketergantungan ekonomi, kemunculan organisasi internasional, dan isu-isu transnasional seperti perubahan iklim dan migrasi mendorong pembentukan pola tata pemerintahan baru dan kerja sama yang melampaui batas-batas klasik negara-bangsa.
Tantangan terhadap Kedaulatan Negara
Beberapa tantangan kontemporer terhadap kedaulatan negara meliputi:
Integrasi Regional: Contohnya adalah Uni Eropa (European Union) yang menerapkan konsep berbagi kedaulatan (shared sovereignty), di mana Uni Eropa mengizinkan agen asing ikut campur dalam urusan dalam negeri suatu negara.
Kebangkitan Aktor Non-Negara: Munculnya korporasi multinasional, kelompok teroris, dan organisasi transnasional lainnya membawa tantangan terhadap monopoli kekuasaan negara.
Konflik Internal: Berbagai konflik internal seperti separatisme dan konflik etnis mengancam keutuhan dan kedaulatan negara.
Sekretaris Jenderal NATO Javier Solana pada tahun 1998 menyatakan bahwa “kemanusiaan dan demokrasi adalah dua prinsip yang pada dasarnya tidak relevan dengan tatanan Westfalia yang asli” dan mengkritik bahwa “sistem Westfalia memiliki batasan”. Ia berpendapat bahwa sistem politik Eropa yang dibentuk oleh Westfalia sudah kedaluwarsa, sebagaimana terwujud dalam penolakan terhadap prinsip keseimbangan kekuatan Eropa dan ambisi hegemonik negara-negara individual melalui peralihan hak kedaulatan negara-bangsa ke sejumlah lembaga supranasional Eropa.
Penutup
Ilmu Negara sebagai disiplin ilmu yang teoritis, umum, dan universal memberikan fondasi yang kokoh bagi pemahaman tentang negara sebagai organisasi kekuasaan tertinggi dalam masyarakat. Melalui sistematika yang dikembangkan oleh Georg Jellinek, Ilmu Negara menawarkan kerangka analitis yang komprehensif untuk mengkaji negara baik dari aspek yuridis-normatif maupun sosiologis.
Evolusi historis negara menunjukkan perjalanan panjang dari masyarakat tribal prasejarah, negara-kota kuno, sistem feodal abad pertengahan, hingga negara-bangsa modern yang lahir pasca-Perjanjian Westphalia 1648. Prinsip-prinsip kedaulatan yang ditetapkan dalam Perjanjian Westphalia menjadi landasan bagi tatanan internasional modern yang menghormati integritas wilayah dan non-intervensi dalam urusan dalam negeri.
Namun demikian, negara di era kontemporer menghadapi berbagai tantangan baru yang menguji konsep kedaulatan klasik. Globalisasi, integrasi regional, kebangkitan aktor non-negara, dan isu-isu transnasional menuntut adaptasi dan transformasi konsep negara. Pemahaman yang mendalam terhadap Ilmu Negara, termasuk asal-usul, sifat khusus, dan evolusi historis negara, menjadi sangat penting bagi para praktisi hukum, pembuat kebijakan, dan akademisi dalam menavigasi kompleksitas tantangan kenegaraan di abad ke-21.
Sebagai ilmu dasar yang memberikan landasan teoritis bagi HTN dan HAN, Ilmu Negara akan terus relevan dalam membekali pemahaman konseptual yang diperlukan untuk menganalisis dan menyelesaikan berbagai persoalan kenegaraan kontemporer, baik di tingkat nasional maupun internasional.
Leave a Reply