Oleh: Tim Penyusun, Diupdate 11 Februari 2024
Konsep negara hukum merupakan salah satu pilar fundamental dalam penyelenggaraan negara modern yang beradab dan demokratis. Negara hukum menuntut bahwa segala bentuk kekuasaan negara harus dijalankan berdasarkan hukum yang berlaku, bukan berdasarkan kehendak sewenang-wenang penguasa. Prinsip ini menjamin bahwa setiap warga negara diperlakukan sama di hadapan hukum dan hak-hak asasinya dilindungi secara konstitusional. Esai ini menguraikan secara komprehensif perkembangan historis konsep negara hukum dari zaman Yunani Kuno hingga era modern, membandingkan konsep rechtsstaat di tradisi Eropa Kontinental dengan the rule of law di tradisi Anglo-Saxon, menjelaskan karakteristik negara hukum Pancasila yang khas Indonesia, mengidentifikasi prinsip-prinsip negara hukum demokratis, serta menganalisis perdebatan historis dan tantangan implementasi negara hukum di Indonesia.
Perkembangan Historis Konsep Negara Hukum
Yunani Kuno: Akar Filosofis Negara Hukum
Konsep negara hukum memiliki akar yang sangat dalam, bermula dari pemikiran filsuf-filsuf Yunani Kuno. Plato dalam karyanya The Republic berpendapat bahwa adalah mungkin mewujudkan negara ideal untuk mencapai kebaikan yang berintikan kebaikan tertinggi. Untuk itu, kekuasaan idealnya harus dipegang oleh orang yang mengetahui kebaikan, yakni para filsuf-raja. Namun, Plato menyadari bahwa kondisi ideal tersebut sulit dicapai sehingga ia menyatakan bahwa bentuk pemerintahan terbaik kedua yang dapat diwujudkan adalah pemerintahan yang menempatkan supremasi hukum. Menurutnya, pemerintahan oleh hukum (nomoi) adalah pemerintahan yang mampu mencegah kemerosotan kekuasaan seseorang menjadi tirani.
Senada dengan Plato, Aristoteles menegaskan bahwa tujuan negara adalah untuk mencapai kehidupan yang paling baik (the best life possible) yang hanya dapat dicapai dengan supremasi hukum. Bagi Aristoteles, hukum adalah wujud kebijaksanaan kolektif warga negara (collective wisdom), sehingga peran warga negara sangat diperlukan dalam pembentukan hukum. Pemikiran ini menjadi cikal bakal konsep nomokrasi, yaitu hukum sebagai penentu utama dalam penyelenggaraan kekuasaan negara.
Konsep Rechtsstaat di Eropa Kontinental
Konsep negara hukum modern di Eropa Kontinental dikembangkan dengan menggunakan istilah Jerman, yaitu “rechtsstaat“. Para pemikir yang mengembangkan konsep ini antara lain Immanuel Kant, Paul Laband, Friedrich Julius Stahl, dan Johann Gottlieb Fichte.
Friedrich Julius Stahl merupakan tokoh yang paling berpengaruh dalam merumuskan konsep rechtsstaat. Menurut Stahl, konsep rechtsstaat lahir setelah tumbuhnya paham tentang negara yang berdaulat dan berkembangnya teori perjanjian mengenai terbentuknya negara yang dipelopori oleh Jean-Jacques Rousseau. Stahl merumuskan bahwa negara hukum (rechtsstaat) harus memenuhi empat elemen penting:
- Perlindungan hak asasi manusia — Negara harus menjamin dan melindungi hak-hak dasar setiap individu.
- Pembagian atau pemisahan kekuasaan — Kekuasaan negara harus dibagi untuk mencegah absolutisme dan menjamin hak-hak asasi manusia.
- Pemerintahan berdasarkan undang-undang (wetmatigheid van bestuur) — Setiap tindakan pemerintah harus didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.
- Peradilan tata usaha negara — Terdapat lembaga peradilan yang berwenang menyelesaikan sengketa antara warga negara dan pemerintah.
Konsep rechtsstaat yang dikembangkan Stahl mengoreksi pandangan negara hukum sebelumnya yang memberikan kebebasan besar bagi individu dari intervensi negara, terutama dalam aktivitas ekonomi. Gagasan Stahl kemudian diikuti oleh sebagian besar negara-negara di Eropa Kontinental, kecuali Inggris yang mengembangkan tradisi tersendiri.
Konsep The Rule of Law di Tradisi Anglo-Saxon
Dalam tradisi Anglo-Saxon, konsep negara hukum dikembangkan dengan sebutan “The Rule of Law” yang dipelopori oleh Albert Venn Dicey, seorang sarjana hukum Inggris kenamaan. Istilah ini digunakan untuk menggambarkan pengertian bahwa hukumlah yang sesungguhnya memerintah atau memimpin dalam suatu negara, bukan manusia atau orang. Dalam literatur, prinsip ini sering diekspresikan dengan ungkapan “The Rule of Law, and not of Man“.
A.V. Dicey dalam bukunya Introduction to the Study of the Law of the Constitution (1885) menguraikan tiga ciri penting negara hukum yang disebutnya dengan istilah “The Rule of Law“:
- Supremacy of Law (Supremasi Hukum) — Dominasi dari aturan-aturan hukum untuk menentang dan meniadakan kesewenang-wenangan, serta menolak kewenangan bebas yang begitu luas dari pemerintah. Tidak boleh ada kesewenang-wenangan sehingga seseorang hanya boleh dihukum jika melanggar hukum.
- Equality before the Law (Persamaan di Hadapan Hukum) — Penundukan yang sama dari semua golongan kepada hukum biasa (ordinary law of the land) yang dilaksanakan oleh pengadilan biasa (ordinary court). Ini berarti tidak ada orang yang berada di atas hukum; baik pejabat maupun warga negara biasa berkewajiban untuk menaati hukum yang sama.
- Due Process of Law (Proses Hukum yang Adil) — Terjaminnya hak-hak asasi manusia oleh konstitusi yang merupakan hasil dari hukum biasa (the ordinary law of land). Prinsip-prinsip hukum privat melalui tindakan peradilan dan parlemen diperluas sehingga membatasi posisi crown dan pejabat.
Perbandingan Rechtsstaat dan The Rule of Law
Meskipun keduanya sama-sama mengacu pada konsep negara hukum, terdapat perbedaan mendasar antara rechtsstaat dan the rule of law yang berakar dari latar belakang historis dan filosofis masing-masing:
Menurut The International Commission of Jurists, prinsip-prinsip negara hukum dari kedua tradisi tersebut dapat digabungkan dan ditambah dengan prinsip peradilan bebas dan tidak memihak untuk menandai ciri-ciri negara hukum modern di zaman sekarang. Dalam konferensi di Bangkok tahun 1965, International Commission of Jurists merumuskan bahwa negara hukum harus memenuhi syarat: negara harus tunduk pada hukum, pemerintah menghormati hak-hak individu, dan peradilan yang bebas serta tidak memihak.
Evolusi Konsep Negara Hukum: Dari Formil ke Materiil
Negara Hukum Formil (Abad ke-19)
Pada abad ke-19, konsep negara hukum yang berkembang adalah negara hukum formil atau negara hukum dalam arti sempit. Dalam konsep ini, peran pemerintah sangat sempit dan terbatas, berdasarkan prinsip laissez faire yang berarti bahwa pemerintah tidak boleh mencampuri urusan ekonomi dan sosial warga negara. Negara hanya bertugas menjaga keamanan, ketertiban, dan kepentingan hukum berdasarkan undang-undang.
Dalam negara hukum formil, negara bersifat pasif terhadap kepentingan rakyat. Urusan ekonomi diserahkan sepenuhnya kepada warga dengan dalil “laissez faire, laissez aller” yang berarti bahwa warga dibiarkan mengurus kepentingan ekonominya sendiri. Konsep ini sering disebut juga sebagai “negara penjaga malam” (nachtwakerstaat atau nachwachterstaat) karena negara hanya melindungi kepentingan kelompok tertentu, khususnya kaum borjuis atau pemilik modal.
Negara Hukum Materiil (Abad ke-20)
Memasuki abad ke-20, konsep negara hukum mengalami evolusi signifikan menjadi negara hukum materiil atau negara hukum dalam arti luas. Pergeseran ini didorong oleh berbagai faktor, termasuk krisis ekonomi pasca Perang Dunia I dan II yang menunjukkan bahwa prinsip laissez faire tidak mampu menjamin kesejahteraan rakyat secara merata.
Dalam negara hukum materiil, pemerintah bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyat dan melakukan intervensi aktif untuk distribusi kekayaan. Pemerintah diberi tugas untuk membangun kesejahteraan umum di berbagai lapangan kehidupan. Konsep ini sering disebut juga sebagai Welfare State atau negara kesejahteraan.
Menurut Prof. Utrecht, negara hukum modern (modern rechtsstaat) atau Welfare State adalah negara yang bertugas menjaga keamanan dalam arti kata seluas-luasnya, berupa keamanan sosial (social security) dan menyelenggarakan kesejahteraan umum, berdasarkan prinsip-prinsip hukum yang benar dan adil, sehingga hak asasi warga negaranya benar-benar terjamin dan dilindungi.
Ciri dasar konsep Welfare State adalah adanya program asuransi sosial bagi masyarakat serta adanya program penjamin kesejahteraan masyarakat. Dalam konsep ini, pemerintah diberi kewenangan atau kemerdekaan untuk turut campur dalam urusan warga negara dengan dasar bahwa pemerintah ikut bertanggung jawab terhadap kesejahteraan rakyat.
Negara Hukum Pancasila: Karakteristik Khas Indonesia
Pancasila sebagai Cita Hukum (Rechtsidee)
Negara Hukum Pancasila merupakan konsep negara hukum yang khas Indonesia, yang tidak semata-mata mengadopsi rechtsstaat maupun the rule of law, melainkan menyintesiskan keduanya berdasarkan nilai-nilai Pancasila. Dalam Penjelasan UUD 1945 dinyatakan bahwa Pancasila merupakan cita hukum (rechtsidee).
Sebagai cita hukum, Pancasila berada pada posisi yang memayungi hukum dasar yang berlaku. Pancasila berfungsi sebagai norma tertinggi yang menentukan dasar keabsahan (legitimacy) suatu norma hukum dalam sistem norma hukum Republik Indonesia. Menurut Hamid Attamimi, Pancasila sebagai cita hukum memiliki dua fungsi, yaitu fungsi konstitutif dan fungsi regulatif terhadap sistem norma hukum Indonesia secara konsisten dan terus-menerus.
Konsep negara hukum Pancasila berbeda dengan konsep rule of law dan rechtsstaat dalam beberapa aspek fundamental:
- Dasar falsafah: Negara hukum Pancasila didasarkan pada nilai-nilai Pancasila sebagai volksgeist (jiwa bangsa) Indonesia.
- Sifat kedaulatan: Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD.
- Kekuasaan organ negara: Menerapkan pembagian kekuasaan dengan checks and balances.
- Hak asasi manusia: Mengakui HAM dalam keseimbangan antara hak individual dan hak komunal.
Prinsip-Prinsip Cita Hukum Pancasila
Menurut Arief Hidayat, penyelenggaraan negara hukum Pancasila harus sesuai dengan empat prinsip cita hukum (rechtsidee) Indonesia, yakni:
- Menjaga integrasi bangsa dan negara baik secara ideologis maupun secara teritorial.
- Mewujudkan kedaulatan rakyat (demokrasi) dan negara hukum (nomokrasi).
- Mewujudkan keadilan sosial dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
- Menciptakan toleransi atas dasar kemanusiaan dan keberadaban dalam hidup beragama.
Prinsip-Prinsip Negara Hukum Demokratis
Berdasarkan sintesis dari berbagai tradisi negara hukum dan kekhasan Indonesia, Jimly Asshiddiqie mengajukan dua belas prinsip negara hukum Indonesia:
Prinsip-Prinsip Fundamental
1. Supremasi Hukum — Hukum sebagai pedoman tertinggi yang diakui secara normatif dan empirik. Tidak ada kekuasaan yang berada di atas hukum. Semua sikap, tingkah laku, dan perbuatan harus memiliki landasan hukum atau harus dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.
2. Persamaan dalam Hukum (Equality before the Law) — Tidak ada diskriminasi; semua warga negara sama kedudukannya di hadapan hukum. Baik pejabat maupun rakyat biasa harus tunduk pada hukum yang sama.
3. Asas Legalitas — Segala tindakan pemerintah harus berdasarkan peraturan perundang-undangan yang sah. Pemerintah tidak boleh bertindak sewenang-wenang atau melampaui kewenangannya.
4. Pembatasan Kekuasaan — Menerapkan pembagian kekuasaan untuk menghindari penyalahgunaan kekuasaan. Kekuasaan negara harus dibatasi dan dikendalikan melalui mekanisme checks and balances.
5. Organ-Organ Independen — Terdapat lembaga-lembaga independen seperti bank sentral, Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan Komisi Yudisial (KY) untuk menjamin demokrasi dan penegakan hukum yang imparsial.
Prinsip-Prinsip Kelembagaan
6. Peradilan Bebas dan Tidak Memihak — Hakim tidak boleh memihak dan harus bebas dari intervensi pihak manapun. Independensi peradilan adalah syarat mutlak bagi penegakan hukum yang adil.
7. Peradilan Tata Usaha Negara — Warga negara dapat menggugat keputusan administrasi negara yang merugikan dirinya. Ini merupakan sarana kontrol terhadap tindakan pemerintah dan perlindungan hukum bagi masyarakat.
8. Mahkamah Konstitusi — Memperkuat checks and balances dengan kewenangan menguji konstitusionalitas undang-undang. MK berfungsi sebagai guardian of the constitution dan final interpreter terhadap konstitusi.
Prinsip-Prinsip Substantif
9. Perlindungan Hak Asasi Manusia — Jaminan hukum bagi penegakan HAM melalui proses yang adil (due process of law). Konstitusi harus memuat jaminan terhadap hak-hak dasar warga negara.
10. Bersifat Demokratis — Peran serta masyarakat dalam pengambilan keputusan kenegaraan. Hukum harus mencerminkan kehendak rakyat dan dibentuk melalui proses yang demokratis.
11. Sarana Mewujudkan Tujuan Bernegara — Hukum berfungsi untuk mencapai kesejahteraan umum sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945.
12. Transparansi dan Kontrol Sosial — Partisipasi masyarakat dalam pembuatan dan penegakan hukum. Pemerintahan yang terbuka dan akuntabel merupakan ciri negara hukum demokratis.
Negara Hukum dan Demokrasi dalam UUD 1945
Konstitusi Indonesia secara eksplisit menegaskan prinsip negara hukum dan demokrasi:
Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945
“Negara Indonesia adalah negara hukum.“
Ketentuan ini menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum, bukan negara kekuasaan (machtsstaat). Segala tindakan pemerintah, presiden, dan pejabat publik harus sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Rumusan ini mengandung makna adanya pengakuan terhadap prinsip supremasi hukum dan konstitusi.
Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945
“Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.“
Ketentuan ini menegaskan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan harus dilaksanakan menurut UUD. Ini berarti hukum harus mencerminkan kehendak rakyat dan rakyat melalui wakilnya berperan dalam pembentukan hukum.
Menurut Jimly Asshiddiqie, rumusan kedua pasal tersebut mengandung makna:
- Adanya pengakuan terhadap prinsip supremasi hukum dan konstitusi
- Dianutnya prinsip pemisahan dan pembatasan kekuasaan
- Adanya jaminan hak asasi manusia
- Adanya peradilan bebas dan tidak memihak yang menjamin persamaan warga negara di hadapan hukum
- Menjamin keadilan bagi setiap orang termasuk terhadap penyalahgunaan wewenang oleh pihak yang berkuasa
Perdebatan Konsep Negara Hukum Indonesia
Perdebatan Soekarno-Soepomo vs Hatta-Yamin
Dalam sidang BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) pada Juli 1945, terjadi perdebatan sengit mengenai pencantuman hak asasi manusia dalam konstitusi.
Kelompok Soekarno-Soepomo menolak pencantuman HAM individual dalam UUD dengan argumen:
- HAM berasal dari konsep individualisme negara-negara Barat yang tidak sesuai dengan struktur sosial masyarakat Indonesia.
- Soepomo, yang menganut paham negara integralistik, berpendapat bahwa individu-individu seharusnya melebur menjadi satu kesatuan dalam negara. Yang pokok bukanlah individu, melainkan masyarakat.
- Soekarno menekankan bahwa yang lebih penting adalah keadilan sosial (sociale rechtvaardigheid), bukan hak-hak individual. Menurutnya, “Buat apa grondwet menuliskan bahwa manusia mempunyai hak kemerdekaan suara… jikalau tidak ada keadilan sosial?”
Kelompok Hatta-Yamin mendukung pencantuman HAM dengan argumen:
- Hatta berargumen bahwa jaminan hak dasar rakyat dalam konstitusi diperlukan untuk mencegah negara kekuasaan dan kesewenang-wenangan penguasa.
- Yamin mendukung dimasukkannya jaminan hak untuk berserikat, berkumpul, menggelar rapat, dan menyatakan pendapat dalam UUD.
- Meskipun menolak konsep “des droits de l’homme et du citoyen” (hak-hak asasi manusia dan warga negara) ala Barat, Hatta tetap menekankan pentingnya perlindungan terhadap hak-hak dasar warga negara.
Kompromi Historis
Perdebatan tersebut pada akhirnya menghasilkan kompromi. Konsep “des droits de l’homme et du citoyen” secara eksplisit ditolak, namun pengakuan terhadap hak warga negara untuk berkumpul, berserikat, dan menyatakan pendapat tetap diakui dan dicantumkan dalam UUD 1945. Hal ini kemudian ditegaskan dalam Pasal 28 UUD 1945: “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebaganya ditetapkan dengan undang-undang.“
Kompromi ini menghasilkan UUD 1945 yang mencantumkan konsep negara hukum dan HAM, mencerminkan perpaduan antara rechtsstaat dan the rule of law dengan karakteristik khas Indonesia yang menekankan keseimbangan antara hak individual dan hak komunal.
Tantangan Mewujudkan Negara Hukum di Indonesia
Persoalan Paradigmatik
Terdapat ambiguitas orientasi konsep negara hukum di Indonesia. Secara historis, Indonesia lebih banyak dipengaruhi oleh tradisi rechtsstaat melalui pendidikan hukum kolonial Belanda yang cenderung formalistik dan prosedural. Namun, tuntutan keadilan substantif mendorong pergeseran ke arah the rule of law yang lebih menekankan keadilan materiil.
Persoalan paradigmatik ini tampak dalam praktik penegakan hukum yang kadang lebih mengutamakan prosedur formal daripada pencapaian keadilan substantif. Reformasi paradigma hukum diperlukan agar hukum tidak hanya menjadi instrumen kekuasaan tetapi benar-benar menjadi sarana mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat.
Persoalan Politik dan Birokratis
Tantangan serius lainnya adalah birokrasi yang korup dan rekrutmen politik yang keliru. Praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang masih mengakar dalam birokrasi pemerintahan menghambat penegakan hukum yang adil dan imparsial. Rekrutmen pejabat publik yang tidak berdasarkan meritokrasi tetapi berdasarkan patronase politik menciptakan aparat yang tidak kompeten dan tidak berintegritas.
Langkah-Langkah Reformasi
Untuk mewujudkan cita negara hukum Pancasila, diperlukan langkah-langkah strategis:
- Reformasi birokrasi yang menyeluruh untuk menciptakan aparatur negara yang bersih, kompeten, dan berintegritas.
- Penyelesaian kasus KKN masa lalu sebagai bentuk keadilan transisional dan pencegahan terulangnya praktik serupa di masa depan.
- Penguatan lembaga-lembaga penegak hukum yang independen dan imparsial.
- Peningkatan kesadaran hukum masyarakat melalui pendidikan kewarganegaraan dan sosialisasi hukum.
- Transparansi dan akuntabilitas dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Penutup
Konsep negara hukum telah mengalami evolusi panjang dari pemikiran klasik Plato dan Aristoteles, melalui pengembangan rechtsstaat di Eropa Kontinental oleh Julius Stahl, hingga the rule of law di tradisi Anglo-Saxon oleh A.V. Dicey. Kedua tradisi tersebut, meskipun memiliki perbedaan karakteristik, sama-sama menekankan supremasi hukum, persamaan di hadapan hukum, dan perlindungan hak asasi manusia sebagai pilar-pilar fundamental negara hukum.
Indonesia sebagai negara hukum memiliki karakteristik khas yang tidak semata-mata mengadopsi rechtsstaat maupun the rule of law, melainkan menyintesiskan keduanya berdasarkan nilai-nilai Pancasila sebagai cita hukum (rechtsidee) bangsa. Negara hukum Pancasila menempatkan Pancasila sebagai norma tertinggi yang memayungi seluruh sistem hukum nasional dan menentukan legitimasi setiap norma hukum yang berlaku.
Penegasan Indonesia sebagai negara hukum dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menuntut konsistensi dalam implementasinya. Dua belas prinsip negara hukum demokratis yang dirumuskan Jimly Asshiddiqie menjadi pedoman komprehensif bagi penyelenggaraan negara. Namun demikian, tantangan paradigmatik dan politis masih menghadang jalan menuju negara hukum yang ideal.
Perdebatan historis antara Soekarno-Soepomo dan Hatta-Yamin mengenai HAM menunjukkan bahwa sejak awal, para founding fathers telah berupaya merumuskan konsep negara hukum yang sesuai dengan karakter bangsa Indonesia. Kompromi yang dicapai mencerminkan keseimbangan antara hak individual dan hak komunal, antara kebebasan dan keadilan sosial, yang menjadi ciri khas negara hukum Pancasila.
Mewujudkan negara hukum yang sesungguhnya memerlukan komitmen bersama dari seluruh elemen bangsa: pemerintah yang menyelenggarakan kekuasaan berdasarkan hukum, lembaga peradilan yang bebas dan tidak memihak, serta masyarakat yang sadar hukum dan berpartisipasi aktif dalam proses demokrasi. Hanya dengan demikian, cita-cita negara hukum Pancasila yang menjunjung tinggi supremasi hukum, melindungi hak asasi manusia, dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dapat terwujud secara nyata.
Leave a Reply