Oleh: Tim Penyusun, Diupdate 11 November 2025
Kekuasaan merupakan elemen sentral dalam setiap pembahasan tentang negara dan politik. Tanpa kekuasaan, negara tidak akan mampu menjalankan fungsinya untuk mengatur kehidupan masyarakat dan mencapai tujuan-tujuan bersama. Namun, kekuasaan juga mengandung potensi bahaya bila dijalankan tanpa batasan dan legitimasi yang jelas. Esai ini menguraikan berbagai perspektif teoritis tentang konsep kekuasaan dalam negara, mulai dari pandangan klasik John Locke hingga perspektif kontemporer Michel Foucault, perbandingan antara Tan Malaka dan Shang Yang, nilai-nilai demokrasi sebagai instrumen kekuasaan, prinsip negara hukum dalam pembatasan kekuasaan, klasifikasi negara berdasarkan distribusi kekuasaan, legitimasi kekuasaan, serta teknik-teknik untuk mencegah pemusatan dan penyalahgunaan kekuasaan.
Teori Kekuasaan dalam Perspektif John Locke
John Locke (1632-1704) merupakan salah satu pemikir politik paling berpengaruh dalam sejarah filsafat politik modern. Dalam karyanya Two Treatises of Government, Locke mengembangkan teori kontrak sosial yang menjadi landasan bagi pemahaman modern tentang hubungan antara negara dan masyarakat.
Menurut Locke, negara adalah representasi kehendak masyarakat. Kekuasaan raja atau negara bukanlah sesuatu yang bersifat alamiah atau berasal dari hak ilahi, melainkan berasal dari pelimpahan kekuasaan oleh masyarakat kepada penguasa melalui suatu perjanjian sosial. Dalam kondisi alamiah (state of nature), manusia memiliki kebebasan penuh namun rentan terhadap konflik karena tidak ada otoritas yang menegakkan keadilan. Untuk menghindari kekacauan, manusia sepakat membentuk negara dengan memberikan sebagian kecil kebebasan mereka kepada pemerintah — bukan untuk diserahkan sepenuhnya, melainkan untuk dijaga dan dilindungi.
Locke menegaskan bahwa tujuan negara adalah melindungi hak-hak warga, bukan untuk mengganggu atau meniadakan hak-hak tersebut. Negara harus bersikap netral terhadap berbagai kepentingan dalam masyarakat dan tidak boleh memihak pada kelompok tertentu. Hak-hak alamiah yang harus dilindungi negara meliputi hak hidup, hak kebebasan, dan hak atas harta benda. Locke sangat menekankan pentingnya hak milik pribadi sebagai bagian dari kebebasan individu — negara tidak boleh mengambil hak milik seseorang tanpa persetujuan.
Lebih jauh, Locke memandang kekuasaan bukan hanya sebagai instrumen penguasaan, tetapi juga sebagai alat untuk melakukan perubahan positif dalam masyarakat. Kekuasaan yang dijalankan dengan baik akan membawa kemajuan dan kesejahteraan bagi rakyat. Namun, kekuasaan pemerintah tidak pernah bersifat mutlak; ia selalu terbatas oleh kontrak sosial yang mendasarinya. Bila pemerintah menyalahgunakan kekuasaan dan melanggar hak-hak rakyat, maka rakyat berhak melakukan perlawanan atau mengganti pemerintahan tersebut. Gagasan ini kemudian menjadi inspirasi bagi Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat (1776).
Perbandingan Perspektif Kekuasaan: Foucault vs. Tan Malaka
Michel Foucault: Kekuasaan yang Tersebar
Michel Foucault (1926-1984), filsuf Prancis kontemporer, menghadirkan perspektif yang sangat berbeda tentang kekuasaan. Berbeda dengan pandangan tradisional yang melihat kekuasaan sebagai sesuatu yang dimiliki oleh individu atau institusi tertentu, Foucault memandang kekuasaan tersebar di mana-mana, meresapi semua aspek kehidupan sosial.
Menurut Foucault, kekuasaan bukan entitas yang dapat dimiliki, diperebutkan, atau dilepaskan. Sebaliknya, kekuasaan adalah sesuatu yang terus-menerus diproduksi dan direproduksi dalam setiap interaksi sosial. Kekuasaan tidak hanya berada di tangan penguasa atau negara, tetapi tersebar di seluruh struktur sosial — dari institusi negara hingga interaksi sehari-hari antara individu. Foucault menyatakan bahwa kekuasaan adalah “nama yang diberikan kepada situasi strategis yang rumit dalam masyarakat tertentu”.
Lebih penting lagi, Foucault menekankan bahwa kekuasaan tidak hanya bersifat represif, tetapi juga produktif — ia menghasilkan pengetahuan, identitas, dan norma-norma sosial yang mengatur perilaku individu. Hubungan antara pengetahuan dan kekuasaan (power/knowledge) menjadi konsep sentral dalam pemikiran Foucault: kekuasaan menciptakan pengetahuan, dan pengetahuan pada gilirannya memperkuat kekuasaan.
Tan Malaka: Kekuasaan Absolut untuk Rakyat
Tan Malaka (1897-1949), tokoh pergerakan nasional Indonesia, memiliki pandangan yang kontras dengan Foucault. Bagi Tan Malaka, kekuasaan dalam organisasi, terutama negara, bersifat absolut. Pandangan ini muncul dari konteks pergerakan kemerdekaan yang membutuhkan sikap otoriter untuk menstabilkan kondisi yang labil pasca-penjajahan.
Konsep negara menurut Tan Malaka adalah negara dengan kekuasaan penuh yang mengontrol hingga lapisan bawah, memastikan semua kebijakan pembangunan masyarakat terlaksana dan menyentuh akar rumput. Berbeda dengan absolutisme yang mementingkan penguasa, Tan Malaka membayangkan kekuasaan absolut yang digunakan untuk kesejahteraan rakyat — negara kuat untuk rakyat sejahtera.
Paradoks Kekuasaan: Tan Malaka vs. Shang Yang
Perbandingan antara Tan Malaka dan Shang Yang (Lord Shang, 390-338 SM) menunjukkan paradoks fundamental dalam teori kekuasaan negara.
Shang Yang, pemikir legalisme Cina kuno, memiliki pandangan yang sangat kontras dengan Tan Malaka. Ia menyatakan bahwa untuk membuat negara kuat dan berkuasa, rakyat harus dibuat lemah dan miskin. Sebaliknya, jika rakyat kuat dan makmur, negara akan lemah. Ajaran Shang Yang yang terkenal adalah: “A weak people means a strong state and a strong state means a weak people; therefore a country, which has the right way, is concerned with weakening the people“.
Sementara Tan Malaka membayangkan negara kuat yang membuat rakyat sejahtera, Shang Yang justru melihat hubungan terbalik antara kekuatan negara dan kesejahteraan rakyat. Paradoks ini menunjukkan bahwa kekuasaan dapat digunakan untuk tujuan yang sangat berbeda tergantung pada orientasi ideologis dan moral penguasa.
Demokrasi dan Nilai-Nilai Sistem Politik Demokratis
Dalam sistem demokrasi, kekuasaan berfungsi sebagai instrumen pendukung sistem politik yang mengandung nilai-nilai moral penting. Sistem demokrasi memberikan kerangka normatif untuk mengatur dan membatasi penggunaan kekuasaan.
Nilai-Nilai Utama Demokrasi
Pertama, penyelesaian pertikaian secara damai. Demokrasi mengakui ekspresi politis dan pertikaian kepentingan sebagai hal yang wajar, namun mengaturnya untuk diselesaikan secara damai melalui perundingan, bukan kekerasan atau dekrit.
Kedua, perubahan damai dalam masyarakat. Demokrasi menjamin terjadinya perubahan secara damai dalam masyarakat yang terus berkembang, terutama di era perubahan teknologi yang cepat.
Ketiga, pergantian penguasa secara teratur. Demokrasi menyelesaikan masalah politik klasik mengenai penggantian penguasa yang sah secara damai dan absah — tidak melalui penunjukan diri sendiri, warisan, atau kudeta.
Keempat, penggunaan paksaan sesedikit mungkin. Demokrasi meminimalkan jenis paksaan melalui kebebasan politik dan cara pengambilan keputusan yang adil. Ini menciptakan catharsis dan mengurangi perasaan terpaksa bagi minoritas.
Kelima, nilai keanekaragaman. Keanekaragaman kepercayaan dan tindakan, serta pilihan yang lebih banyak, dianggap sebagai nilai positif dalam demokrasi.
Keenam, menegakkan keadilan. Keadilan adalah inti moralitas politik, dan demokrasi dianggap sebagai sistem terbaik untuk menegakkannya.
Negara Hukum dan Pembatasan Kekuasaan
Dalam negara hukum, kekuasaan harus menjadi instrumen untuk menjalankan negara sebagai pranata hukum dasar. Hukum berfungsi membatasi kekuasaan dan mengarahkan fungsi negara sesuai tujuannya. Konstitusi selalu menjadikan kekuasaan sebagai pusat perhatian karena kekuasaan perlu diatur dan dibatasi untuk mencegah penyalahgunaan.
Unsur-Unsur Negara Hukum dalam Pembatasan Kekuasaan
Perlindungan Hak Asasi Manusia: Menurut Immanuel Kant dan A.V. Dicey, negara hukum harus melindungi hak-hak asasi manusia yang dijamin dalam undang-undang dasar.
Pemisahan Kekuasaan: Unsur pokok negara hukum adalah pemisahan kekuasaan untuk mencegah tindakan sewenang-wenang. Ajaran Montesquieu tentang “kekuasaan membatasi kekuasaan” menjadi landasan utama prinsip ini.
Tindakan Berdasarkan Undang-Undang: Setiap tindakan negara harus berdasarkan undang-undang yang dibuat terlebih dahulu, meskipun ada fleksibilitas untuk peraturan pemerintah dengan hak uji materi.
Peradilan Administrasi: Untuk menyelesaikan perselisihan antara penguasa dan rakyat, diperlukan peradilan administrasi yang tidak memihak dan diisi oleh ahli di bidangnya.
Konstitusionalisme adalah sistem yang melembagakan pembatasan efektif terhadap tindakan pemerintah, memastikan bahwa tidak ada kekuasaan yang absolut dan semua tindakan pemerintah berada di bawah payung hukum.
Klasifikasi Negara Berdasarkan Distribusi Kekuasaan
Negara dapat diklasifikasikan berdasarkan bagaimana fungsi atau kekuasaan negara dipusatkan dan dipegang:
Monarki Absolut: Kekuasaan terpusat pada satu organ dan dipegang oleh satu orang tunggal (raja/ratu).
Aristokrasi/Oligarki Absolut: Kekuasaan terpusat pada satu organ dan dipegang oleh beberapa orang (elite/kelompok kecil).
Demokrasi Absolut (Murni): Kekuasaan terpusat pada satu organ dan pada prinsipnya dipegang oleh seluruh rakyat.
Selain klasifikasi berdasarkan pemegang kekuasaan, negara juga dapat diklasifikasikan berdasarkan sistem pemisahan kekuasaan seperti yang dianut Montesquieu, yang mempengaruhi bentuk pemerintahan — apakah presidensial, parlementer, atau referendum.
Legitimasi Kekuasaan dalam Negara
Legitimasi adalah kekuatan penguasa yang diterima oleh rakyat, menempatkan kepentingan rakyat di atas segalanya. Menurut Max Weber, legitimasi adalah dasar yang membuat rakyat patuh terhadap kekuasaan dengan sukarela, bukan karena paksaan. Legitimasi menjadi tolok ukur untuk menilai apakah suatu pemerintahan memiliki dukungan moral dan kepercayaan publik dari rakyatnya.
Legitimasi dalam Negara Kapitalis
Dicey dan Hayek menjelaskan bahwa dalam negara kapitalis, aturan hukum digunakan sebagai dasar prediksi penggunaan kekuasaan koersif oleh penguasa. Hukum menjadi alat untuk merencanakan kegiatan dan mengantisipasi masalah, bahkan dengan sanksi bagi yang menentang.
Legitimasi dalam Demokrasi
Dalam negara demokrasi, legitimasi sangat penting karena rakyat adalah sumber semua legitimasi kewenangan politik. Proses pemilihan umum adalah upaya khusus untuk memberikan legitimasi kepada penguasa. Semakin baik sistem pemilu — jujur, adil, dan transparan — semakin baik kekuasaan dijalankan untuk kepentingan masyarakat. Sebaliknya, pemilu yang buruk dapat menyebabkan penyalahgunaan kekuasaan.
Max Weber mengidentifikasi tiga jenis legitimasi klasik: legitimasi tradisional (berdasarkan adat dan kebiasaan), legitimasi karismatik (berdasarkan kualitas luar biasa pemimpin), dan legitimasi rasional-legal (berdasarkan hukum dan prosedur yang berlaku).
Pergeseran Kekuasaan dan Absolutisme
Pergeseran kekuasaan terjadi ketika kekuasaan dijalankan tidak sesuai mestinya, seperti yang terlihat dalam sistem absolutisme. Contoh klasik adalah pemerintahan absolut Henri IV (1589-1610) di Prancis yang telah mengakar kuat dalam sistem ketatanegaraan.
Jean Bodin dalam karyanya Les Six Livres de la République (1576) memberikan dasar-dasar yuridis terhadap kekuasaan absolut, melegitimasi perubahan hubungan kekuasaan. Seperti Machiavelli, Bodin berpendapat bahwa tujuan negara adalah kekuasaan. Ia mendefinisikan negara sebagai keseluruhan keluarga-keluarga yang dipimpin oleh akal dan penguasa berdaulat.
Negara kekuasaan absolut bertentangan dengan negara hukum yang mengedepankan pengawasan dan pembatasan kekuasaan. Konstitusi modern berupaya mengatur dan membatasi kekuasaan untuk mencegah penyalahgunaan.
Sejarah Impeachment di Indonesia
Indonesia memiliki sejarah panjang dalam merespons pergeseran kekuasaan melalui impeachment terhadap presidennya:
1966 — Presiden Soekarno: Dipaksa memberikan pidato pertanggungjawaban (Nawaksara) yang ditolak MPRS — impeachment oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.
1998 — Presiden Soeharto: Rakyat dan organisasi massa mengepung gedung MPR, menuntut pengunduran diri Soeharto — dikenal sebagai “Lengser keprabon“, impeachment oleh rakyat.
2000 — Presiden Habibie: Desakan masyarakat dan media massa memaksa percepatan pemilu — impeachment oleh media massa.
2002 — Presiden Abdurrahman Wahid: Diberhentikan MPRS di tengah masa jabatan karena dianggap melakukan tindakan tidak pantas — impeachment langsung.
Teknik Membatasi Kekuasaan
Sejarah penurunan kekuasaan di Indonesia menunjukkan keinginan untuk menjaga negara tetap pada koridor kekuasaan rakyat. Berbagai teknik pembatasan kekuasaan telah dikembangkan:
Model Pembagian Praja
Eka Praja: Kekuasaan dipegang satu badan, cenderung diktator (autokrasi).
Dwi Praja: Kekuasaan dipegang dua badan — administratif dan politik (Frank J. Goodnow).
Tri Praja: Kekuasaan dipegang tiga badan — eksekutif, legislatif, yudikatif (Montesquieu, John Locke).
Catur Praja: Kekuasaan dipegang empat badan — regeling, bestuur, politie, rechtspraak (Van Vollenhoven).
Panca Praja: Kekuasaan dipegang lima badan — konsultatif, eksekutif, legislatif, yudikatif, inspektif, konstitutif (Indonesia).
Teknik Mengurangi Pemusatan Kekuasaan
Pemilihan Para Penguasa: Pemilihan umum yang bebas dan adil adalah cara paling praktis untuk membatasi kekuasaan. Ini memaksa penguasa bertanggung jawab secara politis kepada rakyat. Pemilu yang jujur akan memaksa penguasa untuk memberikan pertanggungjawaban dengan sanksi politis yang berat: kehilangan kekuasaan jika kebijakan tidak diterima rakyat.
Pembagian Kekuasaan: Pembagian kekuasaan mencegah penyalahgunaan dan tindakan sewenang-wenang. Maurice Duverger menekankan pembagian kekuasaan sebagai cara efektif untuk membatasi penguasa. Konsep “kekuasaan membatasi kekuasaan” dari Montesquieu sangat relevan dalam konteks ini.
Kontrol Yuridiksional: Adanya peraturan hukum yang diawasi dan dilindungi oleh organ pengadilan memberikan kekuasaan kepada lembaga peradilan untuk mengontrol lembaga politik dan administrasi. Kontrol yuridiksional memastikan bahwa tidak ada kekuasaan yang absolut dan semua tindakan pemerintah berada di bawah payung hukum.
Konstruksi Ideal Negara Hukum
Negara hukum yang ideal dibangun di atas prinsip-prinsip pembatasan kekuasaan dan legitimasi rakyat. Konstruksi ini mencakup empat pilar utama:
Kedaulatan Rakyat: Rakyat sebagai sumber legitimasi utama, memastikan pemerintahan yang responsif.
Aturan Hukum: Hukum sebagai landasan segala tindakan, menjamin keadilan dan kepastian.
Pembagian Kekuasaan: Mencegah konsentrasi kekuasaan dan penyalahgunaan wewenang.
Akuntabilitas: Penguasa bertanggung jawab kepada rakyat melalui mekanisme yang jelas.
Penutup
Perjalanan menuju konstruksi ideal negara hukum adalah proses dinamis yang membutuhkan partisipasi aktif dari seluruh elemen masyarakat. Keseimbangan antara kekuasaan dan keadilan adalah kunci untuk mencapai pemerintahan yang stabil dan melayani rakyat.
Berbagai perspektif teoritis tentang kekuasaan — dari John Locke yang menekankan kontrak sosial dan perlindungan hak alamiah, Michel Foucault yang melihat kekuasaan tersebar di mana-mana, hingga perdebatan antara Tan Malaka dan Shang Yang tentang hubungan antara kekuatan negara dan kesejahteraan rakyat — memberikan kerangka analitis yang kaya untuk memahami kompleksitas kekuasaan dalam negara modern.
Yang menjadi benang merah dari seluruh pembahasan ini adalah bahwa kekuasaan harus dibatasi, dilegitimasi oleh rakyat, dan diarahkan untuk kepentingan bersama. Partisipasi aktif rakyat dalam proses politik, reformasi berkelanjutan terhadap sistem hukum dan politik, serta pendidikan politik bagi masyarakat menjadi fondasi demokrasi yang kuat. Hanya dengan demikian, negara dapat menjalankan kekuasaannya secara sah dan bertanggung jawab demi kesejahteraan seluruh warga negara.
Leave a Reply