Oleh: Tim Penyusun, Diupdate 13 September 2025
Utang pajak merupakan inti dari hubungan hukum antara negara sebagai pemungut dan masyarakat sebagai wajib pajak. Dalam hukum pajak Indonesia, utang pajak didefinisikan sebagai kewajiban yang masih harus dibayar oleh wajib pajak kepada negara, termasuk di dalamnya sanksi administratif berupa bunga, denda, maupun kenaikan yang ditetapkan melalui surat ketetapan pajak atau surat sejenis. Utang pajak menjadi dasar dari berbagai tindakan administrasi, mulai dari pemungutan, pembayaran, penyetoran, hingga penagihan oleh otoritas pajak.
Secara teoretis, terdapat dua ajaran utama mengenai timbulnya utang pajak, yakni ajaran materiil dan formil. Ajaran materiil berpendapat bahwa utang pajak timbul semata-mata karena adanya undang-undang, tanpa perlu adanya tindakan dari pejabat pajak. Dalam sistem ini, wajib pajak secara sadar dan aktif menentukan sendiri apakah dirinya dikenakan pajak atau tidak, sesuai dengan ketentuan hukum. Ajaran ini sejalan dengan sistem self assessment yang berlaku di Indonesia, di mana wajib pajak menghitung dan melaporkan sendiri kewajiban pajaknya. Meski demikian, kelemahannya adalah kurang terpenuhinya prinsip kepastian, karena besaran pajak hanya bergantung pada kejujuran dan kepatuhan wajib pajak.
Sebaliknya, ajaran formil berpendapat bahwa utang pajak baru timbul apabila telah diterbitkan Surat Ketetapan Pajak (SKP) oleh otoritas pajak. Dengan kata lain, selama belum ada surat ketetapan, utang pajak dianggap belum ada, meskipun syarat subjektif, objektif, dan waktu telah terpenuhi. Kelemahan ajaran ini adalah kecenderungan memperbesar peran otoritas pajak dan mengurangi ruang kepastian bagi wajib pajak. Di Indonesia, praktiknya kedua ajaran ini sering dipadukan agar tercipta keseimbangan antara kepastian hukum dan kepatuhan sukarela.
Utang pajak dapat berakhir atau hapus karena berbagai sebab. Cara paling umum adalah melalui pembayaran atau pelunasan oleh wajib pajak, baik dilakukan langsung maupun melalui mekanisme pemotongan dan pemungutan oleh pihak ketiga. Selain itu, terdapat mekanisme kompensasi dan restitusi, yaitu ketika kelebihan pembayaran pajak pada masa sebelumnya dialihkan untuk melunasi pajak terutang. Penghapusan atau pembebasan utang pajak juga dimungkinkan, misalnya ketika wajib pajak berada dalam kondisi kahar (force majeure), meninggal dunia, atau tidak memiliki harta untuk melunasi kewajiban.
Selain itu, daluwarsa (lewat waktu) menjadi salah satu alasan hapusnya utang pajak. Apabila hak negara untuk menagih pajak sudah melampaui jangka waktu tertentu—misalnya 10 tahun sejak ditetapkan—maka kewajiban pembayaran dianggap gugur. Namun, terdapat pula pengecualian berdasarkan undang-undang, misalnya masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) yang dikecualikan dari kewajiban membayar Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) sesuai ketentuan khusus. Hal ini menunjukkan bahwa sistem perpajakan tidak hanya bersifat memaksa, tetapi juga memberikan ruang keadilan sosial dengan memperhatikan kondisi wajib pajak.
Dengan demikian, timbul dan hapusnya utang pajak merupakan proses yang kompleks, dipengaruhi oleh teori hukum, mekanisme administrasi, dan kebijakan fiskal. Pemahaman atas konsep ini penting bagi wajib pajak agar mengetahui kapan kewajiban perpajakan muncul dan kapan kewajiban tersebut berakhir. Bagi negara, kejelasan konsep ini memastikan bahwa pemungutan pajak berlangsung adil, transparan, serta mampu menyeimbangkan kepentingan fiskus dan hak-hak wajib pajak.
Leave a Reply