Oleh: Tim Penyusun, Diupdate 13 Februari 2024
Dalam kajian teori perpajakan, terdapat konsep perlawanan terhadap pajak atau tax resistance. Hal ini dapat terjadi apabila wajib pajak merasa beban pajak tidak adil atau tidak sebanding dengan manfaat yang diterima. Bentuk perlawanan ini dapat berupa upaya menghindari atau mengurangi kewajiban pajak secara sah (tax avoidance) atau tindakan ilegal untuk menghindari pajak (tax evasion), yang diatur dalam hukum pidana pajak.
Perlawanan pajak merupakan fenomena yang tidak dapat dilepaskan dari hubungan antara pemerintah dan wajib pajak. Pada dasarnya, pajak adalah kewajiban yang bersifat memaksa untuk membiayai kepentingan negara. Namun, karena adanya perbedaan kepentingan—pemerintah ingin mengoptimalkan penerimaan negara sementara wajib pajak berusaha meminimalkan beban—muncul berbagai bentuk hambatan dalam pemungutan pajak. Hambatan inilah yang dikenal sebagai perlawanan pajak, yang berdampak langsung pada berkurangnya penerimaan kas negara.
Secara umum, perlawanan pajak terbagi ke dalam dua bentuk besar, yaitu perlawanan aktif dan perlawanan pasif. Perlawanan aktif timbul dari inisiatif wajib pajak sendiri untuk mengurangi atau menghindari kewajiban pajak. Bentuk yang paling dikenal adalah tax avoidance (penghindaran pajak), yakni upaya legal yang memanfaatkan celah hukum, misalnya melalui pemilihan bentuk usaha tertentu, pemilihan lokasi perusahaan, memaksimalkan pengurang pajak, hingga strategi tax saving. Meski berada di area abu-abu, tax avoidance sering kali dipandang masih sah secara hukum. Berbeda halnya dengan tax evasion (penggelapan pajak) yang jelas melanggar hukum, misalnya dengan tidak melaporkan penghasilan secara penuh, membuat biaya fiktif, atau memanipulasi laporan keuangan. Bentuk perlawanan aktif lainnya adalah tindakan melalaikan pajak, yakni menolak membayar pajak yang telah ditetapkan, bahkan menghalangi penyitaan aset oleh otoritas pajak.
Sementara itu, perlawanan pasif bersifat lebih tidak langsung. Perlawanan ini muncul dari kondisi eksternal yang menyebabkan pemungutan pajak menjadi sulit dilakukan. Misalnya, kondisi struktur perekonomian yang memburuk seperti saat pandemi Covid-19, ketika banyak sektor usaha tidak mampu memenuhi kewajiban pajaknya. Faktor sosial, seperti konflik atau ketidakstabilan politik, juga dapat menghambat pembayaran pajak. Selain itu, perkembangan intelektual masyarakat berperan penting: rendahnya literasi perpajakan sering membuat wajib pajak tidak tahu kewajibannya. Faktor moral masyarakat pun tidak bisa diabaikan; resistensi muncul ketika kebijakan pajak dianggap tidak adil, misalnya penolakan sebagian kalangan terhadap tarif PPN yang baru. Bahkan kelemahan sistem administrasi perpajakan sendiri, seperti gangguan pada sistem teknologi informasi, dapat memicu perlawanan pasif.
Dari perspektif hukum pajak, perlawanan ini menunjukkan adanya kesenjangan antara norma hukum yang berlaku dengan perilaku masyarakat. Oleh karena itu, perlawanan pajak harus dipahami sebagai indikator penting dalam mengevaluasi sistem perpajakan. Pemerintah dituntut untuk memperkuat regulasi, meningkatkan efektivitas administrasi, serta melakukan edukasi dan sosialisasi yang intensif. Di sisi lain, wajib pajak juga perlu diberikan ruang partisipasi melalui mekanisme keberatan, banding, dan gugatan di peradilan pajak. Hal ini penting agar kewajiban perpajakan tidak dipandang semata sebagai beban, tetapi juga sebagai bentuk gotong royong dalam membiayai pembangunan negara.
Dengan demikian, memahami perlawanan pajak tidak hanya berarti mengidentifikasi praktik penghindaran atau penggelapan, tetapi juga menelaah akar penyebabnya. Baik faktor internal dari wajib pajak maupun faktor eksternal dari sistem perpajakan harus diperhatikan. Jika perlawanan dapat diminimalisir melalui kebijakan yang adil, transparan, dan efisien, maka kepatuhan sukarela masyarakat akan meningkat, dan pada akhirnya penerimaan negara dapat lebih terjamin untuk mendukung tujuan kesejahteraan bersama.
Leave a Reply