Oleh: Tim Penyusun, Diupdate 13 September 2025
Pemungutan pajak di Indonesia merupakan proses hukum yang diatur secara ketat melalui undang-undang dan peraturan pelaksanaannya. Pemungutan ini melibatkan unsur subjek pajak, yaitu orang pribadi atau badan yang dapat dikenakan pajak, serta wajib pajak, yakni pihak yang memiliki hak dan kewajiban untuk membayar pajak. Objek pajak menjadi dasar pengenaan, sementara piutang pajak timbul ketika ada kewajiban yang belum diselesaikan. Agar proses ini berjalan adil, prosedur pemungutan pajak harus memperhatikan asas legalitas, kepastian hukum, serta prinsip keadilan.
Salah satu aspek penting dalam tata cara pemungutan adalah tarif pajak. Tarif dapat berbentuk tetap, proporsional, progresif, maupun degresif. Tarif tetap mengenakan jumlah yang sama tanpa memperhatikan dasar pengenaan pajak, seperti bea materai. Tarif proporsional mengenakan persentase tertentu yang sama terhadap dasar pengenaan pajak, misalnya PPN. Tarif progresif bersifat meningkat seiring naiknya penghasilan atau nilai objek, seperti dalam Pajak Penghasilan (PPh) atau Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Sebaliknya, tarif degresif menurun ketika dasar pengenaan pajak meningkat, meskipun jenis ini jarang dipraktikkan. Keberagaman tarif ini mencerminkan upaya pemerintah menerapkan prinsip keadilan sesuai kemampuan wajib pajak.
Selain itu, pemungutan pajak didasarkan pada stelsel pajak. Ada tiga stelsel utama: stelsel nyata (riil), yaitu pajak dikenakan setelah objek benar-benar terjadi; stelsel anggapan (fiktif), yaitu pemungutan didasarkan pada perkiraan tertentu; serta stelsel campuran, yang menggabungkan keduanya. Contoh stelsel nyata adalah pemungutan PPh Pasal 21 atas gaji pegawai, sedangkan stelsel anggapan digunakan ketika jumlah pajak tahun berjalan dianggap sama dengan tahun sebelumnya. Stelsel campuran digunakan untuk menyeimbangkan keadilan dan kemudahan administrasi.
Prinsip lain yang mendasari pemungutan pajak adalah asas domisili, sumber, dan kebangsaan. Asas domisili memberikan hak bagi negara untuk mengenakan pajak atas penghasilan warga negaranya, baik yang diperoleh di dalam maupun di luar negeri. Asas sumber menekankan bahwa penghasilan yang bersumber dari Indonesia tetap dikenai pajak, meskipun penerimanya tinggal di luar negeri. Sedangkan asas kebangsaan menghubungkan kewajiban perpajakan dengan status kewarganegaraan. Ketiga asas ini memastikan pemungutan pajak dapat menjangkau berbagai kondisi subjek pajak.
Dalam praktiknya, dikenal juga sistem pemungutan pajak. Official assessment system memberi kewenangan kepada fiskus (otoritas pajak) untuk menentukan jumlah pajak terutang, seperti pada PBB atau Bea Materai. Self assessment system memberikan kepercayaan kepada wajib pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan sendiri pajaknya, sebagaimana berlaku pada PPh dan PPN. Sedangkan withholding system menempatkan pihak ketiga sebagai pemotong atau pemungut pajak, contohnya perusahaan yang memotong PPh 21 karyawan atau pemungutan cukai rokok oleh produsen.
Waktu pemungutan juga diatur melalui konsep masa pajak dan tahun pajak. Masa pajak biasanya ditetapkan satu bulan atau periode tertentu, misalnya tiga bulan untuk Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT). Tahun pajak pada umumnya sama dengan tahun kalender, namun perusahaan dapat menggunakan tahun buku berbeda sesuai kebutuhan akuntansi. Perbedaan ini penting karena menentukan kapan kewajiban perpajakan muncul dan harus dipenuhi.
Akhirnya, tata cara pemungutan pajak tidak lepas dari mekanisme penegakan hukum. Jika wajib pajak tidak melaksanakan kewajiban, negara dapat menerbitkan surat ketetapan pajak, bahkan surat paksa untuk melakukan penagihan. Namun, wajib pajak juga diberi hak untuk mengajukan keberatan, banding, atau gugatan ke peradilan pajak. Dengan demikian, prosedur pemungutan pajak tidak hanya menekankan kewajiban, tetapi juga memberikan ruang keadilan bagi para wajib pajak.
Leave a Reply