Oleh: Tim Penyusun, Diupdate 11 Februari 2024
Negara sebagai entitas politik merupakan salah satu kajian sentral dalam ilmu politik yang telah diperdebatkan oleh para pemikir lintas peradaban dan zaman. Dalam tradisi pemikiran Islam, Ibn Khaldun (1332-1406 M) menempati posisi istimewa sebagai salah satu ahli politik tata negara paling terkemuka pada abad pertengahan. Meskipun lebih dikenal sebagai sosiolog, kontribusi Ibn Khaldun dalam bidang politik ketatanegaraan sangat monumental, terutama melalui karya magnum opus-nya, Muqaddimah, yang membahas secara komprehensif konsep negara, urgensi negara bagi kehidupan manusia, dan kriteria ideal kepala negara. Dalam konteks pemikiran Islam, bentuk dan konsep negara sering diperdebatkan karena Al-Quran dan Hadis hanya memberikan prinsip-prinsip dasar negara ideal tanpa rincian teknis yang definitif, sehingga para ilmuwan Muslim seperti Ibn Khaldun berupaya menafsirkan dan mengembangkan prinsip-prinsip tersebut menjadi teori politik yang sistematis.
Negara sebagai Kolektivitas Sosial
Dalam perspektif ilmu politik modern, negara dipahami sebagai perwujudan historis kolektivitas sosial untuk memenuhi harkat dan martabat manusia. Eksistensi negara merupakan sistem pelaksanaan tata aturan yang disepakati oleh komunitas manusia dalam wilayah teritorial tertentu, yang berfungsi mengakomodasi kepentingan individu menjadi kepentingan kolektif. Konsepsi ini mencerminkan pandangan organis tentang negara sebagai entitas yang tumbuh secara alamiah dari kebutuhan manusia akan kehidupan bersama yang terorganisir.
Terdapat tiga pilar utama yang menjadi fondasi eksistensi negara, yaitu wilayah, komunitas masyarakat, dan struktur pemerintahan. Ketiga elemen ini saling terkait dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Spesifikasi dan karakteristik suatu negara muncul dari interaksi dan konsensus masyarakatnya, yang dipengaruhi oleh berbagai faktor internal maupun eksternal. Faktor-faktor ini kemudian membentuk perbedaan bentuk negara seperti liberal, otokrasi, atau parlementer, yang masing-masing memiliki karakteristik dan mekanisme penyelenggaraan pemerintahan yang berbeda.
Urgensi Negara dalam Komunitas Sosial
Manusia sebagai makhluk sosial (zoon politicon) membutuhkan interaksi dengan sesamanya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun, watak sosial manusia yang cenderung agresif dan dinamis berpotensi menimbulkan konflik apabila tidak dikelola dengan baik. Untuk mengatur interaksi sosial tanpa menimbulkan kerusakan, manusia kemudian membuat peraturan yang disepakati secara kolektif, yang meliputi pengaturan wilayah, aturan main, hak dan kewajiban masing-masing anggota masyarakat. Mekanisme ini bertujuan menciptakan komunitas sosial yang harmonis dan menghindari anarkisme.
Ibn Khaldun merumuskan dua urgensi fundamental keberadaan negara dalam kehidupan manusia:
Pertama, negara diperlukan untuk menjamin rakyat dapat hidup berdampingan secara tenteram, tenang, dan saling melengkapi dalam menciptakan kebudayaan dan peradaban. Ibn Khaldun memandang bahwa tanpa adanya negara sebagai institusi yang mengatur kehidupan bersama, manusia akan sulit mengembangkan potensi peradabannya secara optimal. Negara menyediakan kerangka institusional yang memungkinkan manusia berkolaborasi dalam membangun kehidupan yang lebih baik.
Kedua, negara diperlukan untuk mempertahankan diri dan komunitas dari serangan pihak luar. Dalam pandangan Ibn Khaldun, fungsi pertahanan dan keamanan merupakan salah satu raison d’être keberadaan negara. Tanpa kekuatan kolektif yang terorganisir, suatu komunitas akan rentan terhadap ancaman eksternal yang dapat mengancam kelangsungan hidupnya. Ibn Khaldun menekankan bahwa kekuatan kolektif ini hanya dapat terwujud melalui institusi negara yang memiliki legitimasi untuk menggunakan kekuatan secara absah.
Konsep Ashabiyah: Fondasi Solidaritas Sosial
Salah satu kontribusi paling orisinal Ibn Khaldun dalam ilmu politik adalah konsep ashabiyah (solidaritas golongan atau group feeling), yang menjadi pusat pemikiran politiknya tentang pembentukan dan keruntuhan negara. Ashabiyah dapat didefinisikan sebagai kondisi pikiran yang membuat individu mengidentifikasikan diri dengan kelompoknya dan mensubordinasikan kepentingan pribadi demi kepentingan kelompok. Kondisi ideal suatu negara muncul dari interaksi sosial warga negara dengan visi kesatuan yang disebut Ibn Khaldun sebagai ashabiyah.
Secara awal, ashabiyah dimaknai sebagai perasaan nasab (pertalian darah atau kesukuan) yang mengikat anggota kelompok dalam solidaritas kolektif. Namun, Ibn Khaldun kemudian mengembangkan konsep ashabiyah dalam makna yang lebih luas, yaitu hubungan antar kelompok manusia dengan kesatuan tujuan bernegara. Solidaritas ini tidak hanya didasarkan pada ikatan darah, tetapi juga dapat tumbuh dari kesamaan bahasa, sejarah, budaya, dan lokasi geografis. Dalam perkembangan selanjutnya, agama juga dapat menjadi faktor penguat ashabiyah yang sangat signifikan.
Ibn Khaldun menegaskan bahwa ashabiyah adalah faktor paling menentukan dalam lahir dan runtuhnya sebuah bangsa, negara, dan peradaban. Kekuatan ashabiyah menentukan kemampuan suatu kelompok untuk meraih kekuasaan politik dan mempertahankannya. Ketika ashabiyah kuat, kelompok tersebut memiliki kohesi sosial yang memungkinkan mereka mengatasi tantangan internal maupun eksternal. Sebaliknya, ketika ashabiyah melemah, negara atau dinasti akan mengalami kemunduran dan akhirnya keruntuhan.
Tahapan Spiral Kekuasaan Negara
Ibn Khaldun mengembangkan teori siklis tentang perjalanan kekuasaan negara yang terdiri dari lima tahapan yang membentuk pola spiral. Teori ini merupakan salah satu kontribusi paling berpengaruh dalam studi tentang bangkit dan runtuhnya peradaban, dan telah menjadi rujukan penting dalam ilmu politik hingga saat ini.
Tahap Pertama: Suksesi
Tahap ini ditandai dengan penggulingan oposisi dan pendirian sistem kekuasaan baru yang dianggap ideal sesuai dengan keinginan rakyat. Pada tahap ini, ashabiyah berada pada titik tertinggi karena kelompok yang merebut kekuasaan masih memiliki solidaritas yang kuat berdasarkan ikatan kekeluargaan dan agama. Pemimpin pada tahap ini lebih berfungsi sebagai kepala suku (chief) daripada penguasa absolut, dan hubungan dengan pengikutnya masih bersifat egaliter.
Tahap Kedua: Otoriter
Setelah kekuasaan terkonsolidasi, penguasa mulai bertindak sewenang-wenang dan menjadikan keputusannya sebagai hukum absolut. Terjadi pergeseran dari pemerintahan berbasis komunitas (community-based rule) menuju kekuasaan yang terkonsolidasi dalam pemerintahan. Penguasa berupaya memonopoli kekuasaan dan menjauhkan kelompok pendukung awalnya dari akses kekuasaan. Ibn Khaldun mencatat bahwa pada tahap ini mulai terjadi pelemahan ashabiyah karena solidaritas alami digantikan dengan dukungan yang dibeli melalui tentara bayaran dan birokrasi.
Tahap Ketiga: Kesentosaan
Tahap ini merupakan masa keemasan (golden age) yang ditandai dengan pembangunan di segala bidang. Kekuasaan monarki-absolut mulai memudar menuju kehidupan yang lebih demokratis-harmonis. Pada tahap ini, negara mengalami kemakmuran ekonomi, perkembangan seni dan budaya, serta kemajuan ilmu pengetahuan. Namun, kemakmuran ini juga membawa benih-benih kemunduran karena masyarakat mulai menikmati kemewahan dan kehilangan semangat juang yang menjadi fondasi awal kekuatan mereka.
Tahap Keempat: Ketenteraman
Tahap ini merupakan konsekuensi dari penataan kehidupan bernegara yang demokratis-harmonis, tanpa gejolak anarkis. Stabilitas politik dan sosial tercapai, namun disertai dengan stagnasi. Penguasa pada tahap ini cenderung mempertahankan status quo dan menghindari perubahan. Ibn Khaldun mengamati bahwa pada tahap ini, ikatan solidaritas tradisional telah digantikan dengan loyalitas yang bersifat transaksional.
Tahap Kelima: Kemunduran
Tahap terakhir ditandai dengan perilaku penguasa yang hidup boros dan berlebihan serta mengabaikan kepentingan rakyat. Kemewahan dan kesenangan duniawi menyebabkan kelemahan moral dan fisik, yang berujung pada keruntuhan peradaban. Ibn Khaldun menggambarkan bahwa pada tahap ini, “kesalahan-kesalahan masa lalu semakin kuat dengan setiap generasi berikutnya”. Negara menjadi rentan terhadap serangan dari kelompok luar yang memiliki ashabiyah lebih kuat, dan siklus akan dimulai kembali dengan kelompok penakluk baru.
Syarat dan Kriteria Kepala Negara Ideal
Ibn Khaldun memberikan perhatian khusus pada kualifikasi yang harus dimiliki oleh seorang kepala negara. Menurutnya, kepala negara dituntut memiliki superioritas intelektual dan kepribadian (altaghalluf) untuk dapat melaksanakan tugasnya secara efektif, efisien, objektif, adil, dan amanah. Apabila pemimpin tidak memenuhi kualifikasi ini, maka kepemimpinannya akan menjadi bumerang bagi pemerintahan itu sendiri.
Dalam karyanya Muqaddimah, Ibn Khaldun merumuskan empat kualifikasi utama yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin Muslim (khalifah):
Yang menarik dari pemikiran Ibn Khaldun adalah bahwa ia tidak menyebutkan bentuk negara riil yang harus diadopsi. Ia memberikan kebebasan kepada komunitas untuk menentukan bentuk negara yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhannya masing-masing. Yang terpenting bagi Ibn Khaldun adalah bagaimana konsep tersebut mampu mewujudkan kemakmuran rakyat. Hal ini menunjukkan fleksibilitas pemikiran Ibn Khaldun yang tidak terjebak pada formalisme bentuk negara, tetapi lebih menekankan pada substansi pencapaian tujuan negara.
Ibn Khaldun juga menekankan bahwa kepemimpinan yang baik membutuhkan kebaikan sekaligus keteguhan hati untuk menjaga rakyat. Ini yang membedakan pemikiran Ibn Khaldun dengan pemikir politik Machiavelli dari abad ke-15. Bagi Ibn Khaldun, untuk menjadi seorang pemimpin yang piawai tidak perlu bersikap lihai atau bermuka dua, melainkan bersikap lunak terhadap para pengikutnya sambil tetap tegas dalam menegakkan keadilan.
Mekanisme Pemilihan Kepala Negara: Ahl al-Hall wa al-Aqd
Ibn Khaldun menekankan bahwa proses pemilihan kepala negara harus dilakukan secara proporsional melalui lembaga yang disebut Ahl al-Hall wa al-Aqd (semacam DPR-MPR dalam konteks modern). Secara harfiah, istilah ini berarti “orang-orang yang berwenang membuka dan mengikat,” yang merujuk pada kelompok yang memiliki otoritas untuk membuat keputusan-keputusan penting yang mempengaruhi umat, termasuk pemilihan dan pemberhentian pemimpin.
Lembaga Ahl al-Hall wa al-Aqd harus bersifat independen, objektif, dan adil. Mereka adalah kumpulan ahli dengan kapasitas luas dalam berbagai bidang seperti hukum, politik, ekonomi, dan kemasyarakatan, yang mewujudkan “miniatur” seluruh rakyat. Dalam pandangan Ibn Khaldun, anggota lembaga ini harus memiliki ashabiyah (pengaruh sosial) yang cukup untuk memastikan keputusan mereka dapat dilaksanakan.
Konsep Ahl al-Hall wa al-Aqd merupakan perwujudan dari prinsip syura (musyawarah) dalam sistem politik Islam. Lembaga ini memiliki beberapa fungsi penting:
- Pemilihan pemimpin: Memilih kepala negara yang memenuhi kualifikasi dan dianggap mampu memimpin umat.
- Pengawasan: Mengawasi tindakan penguasa dan memastikan kepatuhan terhadap syariat dan kepentingan rakyat.
- Pemberhentian: Memiliki otoritas untuk memberhentikan pemimpin yang tidak lagi memenuhi syarat atau menyalahgunakan kekuasaan.
- Penasihat: Memberikan nasihat dan masukan kepada pemimpin dalam pengambilan keputusan penting.
Konsep ini mencerminkan pemikiran Ibn Khaldun tentang pentingnya partisipasi politik dan mekanisme kontrol terhadap kekuasaan. Meskipun konsep ini berkembang dalam konteks sejarah tertentu, prinsip-prinsip dasarnya tentang representasi, akuntabilitas, dan pembatasan kekuasaan tetap relevan dalam diskursus politik kontemporer.
Relevansi Pemikiran Ibn Khaldun dalam Konteks Modern
Pemikiran politik Ibn Khaldun memiliki relevansi yang tinggi dalam memahami dinamika politik kontemporer. Teori siklisnya tentang bangkit dan runtuhnya negara telah digunakan untuk menganalisis berbagai fenomena politik modern, termasuk Kebangkitan Arab (Arab Spring). Konsep ashabiyah telah diinterpretasikan dalam konteks nasionalisme modern dan solidaritas sosial yang menjadi fondasi kohesi negara-bangsa.
Dalam konteks Indonesia, pemikiran Ibn Khaldun tentang etika politik Islam dapat menjadi rujukan penting. Implementasi etika politik Islam di Indonesia berpedoman pada Pancasila sebagai dasar negara yang mencerminkan nilai-nilai moral dan etika dalam politik. Penerapan etika politik diharapkan dapat membentuk masyarakat yang beradab, adil, demokratis, saling menghormati, dan sejahtera.
Ibn Khaldun juga menekankan bahwa kekuasaan bukan sekadar otoritas kontrol fisik dan duniawi atas suatu negara dan wilayah, tetapi berfungsi sebagai instrumen yang menjamin terwujudnya visi Tuhan bagi peradaban manusia, yakni kemaslahatan umat. Pandangan ini membedakan Ibn Khaldun dari pemikir politik pragmatis yang memisahkan politik dari nilai-nilai moral. Bagi Ibn Khaldun, kekuatan moral merupakan pilar dalam mempertahankan kemajuan peradaban dan kekuasaan; moral adalah jiwa dari kekuasaan dan peradaban, eksistensinya bagaikan jiwa bagi tubuh.
Penutup
Pemikiran Ibn Khaldun tentang negara dalam konteks ilmu politik memberikan kerangka teoretis yang komprehensif untuk memahami dinamika pembentukan, perkembangan, dan keruntuhan negara. Konsep ashabiyah sebagai fondasi solidaritas sosial, teori lima tahap spiral kekuasaan, dan rumusan kriteria kepala negara ideal merupakan kontribusi orisinal yang melampaui zamannya dan tetap relevan hingga kini.
Yang membedakan Ibn Khaldun dari pemikir politik lainnya adalah pendekatannya yang interdisipliner, menggabungkan perspektif sosiologis, historis, dan politis dalam satu kerangka analisis yang koheren. Ia tidak hanya mendeskripsikan fenomena politik, tetapi juga menjelaskan mekanisme kausal yang mendasarinya. Fleksibilitasnya dalam tidak mendikte bentuk negara tertentu menunjukkan kearifan intelektual yang mengakui keragaman kondisi masyarakat manusia.
Dalam era kontemporer, ketika banyak negara menghadapi tantangan erosi kohesi sosial, polarisasi politik, dan krisis kepemimpinan, pemikiran Ibn Khaldun tentang pentingnya ashabiyah yang berakar pada nilai-nilai moral dan keadilan menjadi semakin relevan. Pelajaran dari teori siklisnya mengingatkan bahwa kemakmuran dan stabilitas tidak dapat dipertahankan tanpa upaya terus-menerus untuk menjaga solidaritas sosial dan menghindari perangkap kemewahan yang melemahkan semangat kolektif. Negara yang mengabaikan prinsip-prinsip ini, sebagaimana ditunjukkan oleh sejarah, akan mengalami kemunduran dan akhirnya digantikan oleh kekuatan baru yang memiliki ashabiyah lebih kuat.
Leave a Reply