Ajaran Tentang Kedaulatan

Oleh: Tim Penyusun, Diupdate 11 Februari 2024

Kedaulatan adalah konsep fundamental dalam ilmu kenegaraan yang menjawab pertanyaan mendasar: dari mana kekuasaan dalam negara diperoleh? Pemahaman tentang kedaulatan tidak dapat dipisahkan dari berbagai teori yang berkembang sejak Abad Pertengahan hingga masa modern. Esai ini menguraikan secara komprehensif tentang asal-usul istilah kedaulatan, sifat-sifat dasarnya, perkembangan pemikiran dari Jean Bodin hingga berbagai teori kedaulatan yang beragam, termasuk teori kedaulatan tuhan, raja, rakyat, negara, dan hukum, serta implementasinya dalam konteks Indonesia dan hukum internasional.​


Asal-Usul dan Makna Istilah Kedaulatan

Etimologi Kedaulatan

Istilah “kedaulatan” memiliki asal-usul yang beragam bergantung pada tradisi bahasa dan budaya:​

Dari Bahasa Arab: Daulah atau daulat berarti kekuasaan atau dinasti pemerintahan.​

Dari Bahasa Latin: Superanus berarti tertinggi, atau raja/kepala negara yang tertinggi.​

Dari Bahasa Eropa: Istilah ini berkembang menjadi berbagai bentuk di negara-negara Eropa: Sovranita (Italia), sovereignty (Inggris), souvereiniteit (Belanda), souveraineté (Prancis), dan sovranus].​

Definisi Kedaulatan

Menurut Black Law Dictionary, kedaulatan atau sovereign adalah:​

  1. Seseorang, badan, atau negara yang memiliki kekuasaan independen dan tertinggi (a person, body or state vested with independent and supreme authority).
  2. Penguasa negara independen (the ruler of an independent state).

Adapun istilah sovereignty memiliki makna: kekuasaan dominion tertinggi, otoritas atau aturan, kekuasaan politik tertinggi negara independen, atau negara itu sendiri (supreme dominion, authority or rule, the supreme political authority of an independent state, the state itself).​


Empat Sifat Dasar Kedaulatan Menurut Jean Bodin

Jean Bodin (1530-1596), pemikir Prancis yang hidup pada Abad Pertengahan, merumuskan kedaulatan melalui empat sifat dasar yang tetap relevan hingga kini:​​

1. Permanen (Abadi)

Kedaulatan tetap selama negara berdiri. Artinya, kedaulatan bersifat abadi dan tidak bersifat sementara waktu. Selama suatu negara masih eksis, kedaulatannya akan terus berlangsung.​​

2. Asli (Orisinal)

Kedaulatan tidak berasal dari kekuasaan lain yang lebih tinggi. Kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi yang orisinal dan berdiri sendiri. Contohnya, provinsi atau kota tidak memiliki kedaulatan karena kekuasaannya adalah pemberian dari pusat (negara/pemerintah pusat).​​

3. Bulat (Tidak Terbagi)

Kedaulatan tidak dapat dibagi-bagi dan menjadi satu-satunya kekuasaan tertinggi dalam suatu negara. Wewenang pemimpin suatu negara tidak bisa dibagi kepada pemimpin lainnya. Kedaulatan adalah monolitik dan menyeluruh.​​

4. Tak Terbatas

Kedaulatan tidak dibatasi oleh siapapun. Jika ada suatu hal yang membatasi jalannya kedaulatan, maka itu akan melenyapkan sifat kedaulatan itu sendiri. Ini tidak berarti kedaulatan bebas dari segala pembatasan — melainkan bahwa tidak ada lembaga atau individu eksternal yang dapat membatasi kedaulatan.​​


Jean Bodin dan Fondasi Teori Kedaulatan Modern

Jean Bodin adalah pemikir yang pertama kali menggunakan istilah “kedaulatan” sebagai istilah kenegaraan pada abad ke-16 dalam bukunya Les Six Livres de la République (1576). Bodin mendefinisikan kedaulatan sebagai “la puissance absolue et perpetuelle d’une republique” — kekuasaan tertinggi yang bersifat absolut dan permanen dalam suatu negara.​​

Menurut Bodin, kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi dalam negara yang tidak boleh dibatasi oleh konstitusi, tetapi boleh oleh hukum ilahi dan hukum alamiah. Dengan kata lain, kedaulatan berada dalam tangan seorang raja dalam bentuk monarki, atau dalam genggaman rakyat dalam suatu negara berdasarkan demokrasi.​

Konteks Pemikiran Bodin

Bodin mengembangkan teorinya dalam konteks yang sangat spesifik: perang saudara di Prancis (Perang Agama Prancis) yang melibatkan konflik antara Katolik dan Protestan. Menurutnya, kekacauan sosial dan politik hanya bisa diakhiri jika ada satu kekuasaan tertinggi yang berwenang secara penuh — yaitu negara. Pandangan ini kemudian menginspirasi pemikir-pemikir Eropa lain seperti Grotius dan Thomas Hobbes untuk menerima bahwa kedaulatan tidak boleh dibatasi.​​


Aspek Negatif dan Positif Kedaulatan

Kedaulatan memiliki pengertian yang mencakup dua aspek: negatif dan positif:​

Aspek Negatif

Pengertian negatif mengandung makna:​

  • Kedaulatan berarti negara tidak tunduk pada ketentuan-ketentuan hukum internasional yang memiliki status yang tinggi. Negara berdaulat tidak harus mematuhi instrumen internasional yang tidak disepakatinya.
  • Kedaulatan berarti negara tidak tunduk pada kekuasaan apapun dari manapun datangnya tanpa persetujuan negara yang bersangkutan. Ini adalah substansi penting dari kemerdekaan dan non-intervensi dalam urusan internal.

Aspek Positif

Pengertian positif mengandung makna:​

  • Kedaulatan memberikan kepada pemegang/titularnya kekuasaan tertinggi atas warga negaranya — ini adalah wewenang penuh dari suatu negara (full authority).
  • Kedaulatan memberikan wewenang kepada negara untuk mengeksploitasi sumber-sumber alam wilayah nasional bagi kesejahteraan umum masyarakat banyak. Negara memiliki hak untuk memanfaatkan sumber daya alamnya untuk pembangunan dan kesejahteraan rakyat.

Perkembangan Pemikiran Kedaulatan Historis

Abad XVI: Pemikiran Bodin

Pemikiran Bodin menginspirasi berbagai pemikir Eropa: kedaulatan tidak boleh dibatasi — prinsip ini menjadi doktrin yang diterima secara luas.​

Abad XIX: Perkembangan dan Kritik

Pemahaman Bodin terus berkembang pada abad ke-19, menimbulkan berbagai aliran pemikiran:​

Kritik Pufendorf: Samuel Pufendorf mengkritik Bodin dengan menyatakan bahwa kedaulatan harus dibatasi oleh konstitusi dan hukum positif. Pandangan ini membuka jalan bagi teori pembatasan kekuasaan.​

Muhammad Yamin: Pemikir Indonesia Muhammad Yamin mengembangkan konsep bahwa kedaulatan an sich tetap bulat, yang pecah hanya objeknya — artinya kekuasaan tertinggi tetap satu, tetapi pelaksanaannya dapat terdistribusi kepada berbagai institusi.​


Macam-Macam Ajaran Kedaulatan

1. Teori Kedaulatan Tuhan

Menurut sejarahnya, teori ini adalah teori kedaulatan yang paling tua. Teori kedaulatan tuhan mengatakan bahwa kekuasaan tertinggi ada pada Tuhan. Teori ini berkembang pada zaman Abad Pertengahan, yaitu antara abad ke-V sampai abad ke-XV.​

Dalam tradisi Kristen, teori ini menyatakan bahwa raja mendapatkan kekuasaannya dari Tuhan melalui divine right. Raja dianggap sebagai wakil Tuhan di bumi dan tidak dapat didepak karena dipercaya bahwa kekuasaannya berasal dari Tuhan.​

2. Teori Kedaulatan Raja

Teori kedaulatan raja menyatakan bahwa kekuasaan terletak di tangan raja dan keturunannya. Peletak dasar teori ini terutama adalah Niccolò Machiavelli (1467-1527) dengan karyanya Il Principe (Sang Pangeran). Machiavelli mengajarkan bahwa negara yang kuat harus dipimpin oleh seorang raja yang memiliki kedaulatan yang tidak terbatas.​

Dalam pandangan Machiavelli, penguasa tidak boleh dibatasi oleh nilai-nilai moral dan tuntutan kebiasaan dalam upayanya untuk mengejar kepentingan negara. Contoh klasik adalah pernyataan Raja Louis XIV yang terkenal: l’etat c’est moi (“negara adalah saya”), yang merepresentasikan absolusme total.​​

3. Teori Kedaulatan Rakyat

Teori kedaulatan rakyat dipelopori oleh Jean-Jacques Rousseau. Pada intinya, teori ini menyatakan bahwa kedaulatan atau kekuasaan tertinggi ada di tangan rakyat.​​

Menurut Rousseau, yang berdaulat adalah rakyat; raja hanya merupakan pelaksana dari apa yang telah diputuskan atau dikehendaki oleh rakyat. Konsep kunci dalam teori Rousseau adalah kehendak umum (volonté générale/general will) — kehendak kolektif rakyat yang menjadi dasar legitimasi kekuasaan.​​

Teori kedaulatan rakyat ini juga diikuti oleh Immanuel Kant, yang mengatakan bahwa tujuan negara adalah untuk menegakkan hukum dan menjamin kebebasan warga negaranya. Dalam pandangan ini, negara merupakan instrumen untuk melindungi hak-hak rakyat, bukan sebaliknya.​​

Sifat-sifat kedaulatan rakyat menurut Rousseau:

  • Kesatuan, bersifat monistis
  • Bulat dan tidak terbagi
  • Tidak dapat dialihkan
  • Tidak dapat berubah

4. Teori Kedaulatan Negara

Teori kedaulatan negara menyatakan bahwa kedaulatan itu tidak ada pada Tuhan, tetapi pada negara. Negaralah yang menciptakan hukum, jadi segala sesuatu harus tunduk kepada negara.​​

Negara dalam konsep ini dianggap sebagai suatu kesatuan (rechtspersoon) yang menciptakan peraturan hukum. Teori ini dikembangkan lebih lanjut dalam ilmu pengetahuan hukum positif modern, di mana negara adalah subjek hukum yang utama dan pemegang kedaulatan.​​

5. Teori Kedaulatan Hukum

Teori kedaulatan hukum menyatakan bahwa kekuasaan tertinggi di dalam suatu negara adalah hukum itu sendiri. Teori ini dirumuskan oleh Hugo Krabbe dan menjadi dasar lahirnya konsep rechtsstaat (negara hukum) dan rule of law.​​

Dalam teori ini, baik raja atau penguasa, maupun rakyat atau wargane negara, bahkan negara itu sendiri — semuanya tunduk kepada hukum. Semua sikap, tingkah laku, dan perbuatannya harus sesuai dengan hukum. Dengan demikian, menurut Krabbe yang berdaulat adalah hukum.​​

Prinsip-prinsip Kedaulatan Hukum:

  • Supremasi hukum atas kekuasaan — tidak ada individu yang berada di atas hukum
  • Persamaan di hadapan hukum — semua orang tunduk pada hukum yang sama
  • Hukum sebagai pelindung hak-hak dasar manusia

Hans Kelsen, filsuf hukum Austria, mengembangkan ini lebih jauh dengan teorinya tentang hierarki norma (stufenbau theory). Pada puncaknya terdapat grundnorm (norma dasar) yang menjadi sumber legitimasi bagi semua norma di bawahnya. Kelsen menegaskan bahwa: “Kedaulatan tidak berada pada individu atau lembaga, tetapi pada sistem norma hukum itu sendiri”.

6. Kedaulatan Pluralis

Kedaulatan pluralis menyatakan bahwa kedaulatan secara fungsional tersebar pada beberapa instansi, bukan terpusat pada satu lembaga saja. Ini adalah pengembangan lebih lanjut yang mengakui kompleksitas negara modern dengan berbagai pusat kekuasaan.​


Kedaulatan dalam Piagam PBB

Pasal 2 Ayat (7) Piagam PBB memuat prinsip kedaulatan yang penting: “nothing contained in the present Charter shall authorize the united nations to intervene in matters which are essentially within the domestic jurisdiction of any state or shall require the members to submit such matters to settlement under the present Charter; but this principle shall not prejudice the application of enforcement measures under Chapter VII”].​

Ini mengakui bahwa setiap negara memiliki kedaulatan dalam menentukan urusan dalam negerinya, dan tidak ada lembaga internasional yang berhak ikut campur tanpa persetujuan negara yang bersangkutan, kecuali dalam hal-hal yang berkaitan dengan keamanan internasional dan perdamaian dunia.​


Kedaulatan dalam Hukum Internasional

Konvensi Montevideo 1933

Dalam Konvensi Montevideo 1933, kedaulatan awalnya dianggap sebagai “kapasitas untuk memasuki hubungan dengan negara lain” (capacity to enter into relations with other states) sebagai unsur konstitutif ke-4.​

Dalam perkembangannya, unsur ini diganti dengan kedaulatan karena kepentingannya dan ruang lingkup yang lebih luas. Kedaulatan menjadi elemen kunci dalam menentukan status suatu entitas sebagai negara dalam hukum internasional.​


Kedaulatan Versi Indonesia

Menurut Muhammad Yamin, pemikir Indonesia terkemuka, kedaulatan Indonesia berbeda dengan ajaran historis materialisme dan hukum internasional Amerika. Yamin merumuskan kedaulatan Indonesia sebagai:​

“Wewenang tertinggi berdasarkan kemerdekaan bangsa, kemerdekaan mandala, kemerdekaan pemerintahan dengan kemerdekaan melaksanakan tujuan negara, serta berkebebasan penuh melaksanakan pemerintahan dalam negeri dan mengendalikan kebijaksanaan luar negeri”.​

Kedaulatan ini hidup kembali dalam tangan rakyat Indonesia sejak Proklamasi 1945.​

Konsep Kedaulatan Tumpah Darah

Pemikiran Indonesian juga mengembangkan konsep “Kedaulatan Tumpah Darah” — kedaulatan yang dibela habis-habisan dengan jiwa-raga dan darah, menurut Jazim Hamidi. Konsep ini terhubung dengan ajaran Friedrich Ratzel tentang konsepsi ruang negara dan geopolitik. Pandangan ini menempatkan pertahanan kedaulatan sebagai tanggung jawab moral setiap warga negara.​

Padmo Wahyono menyatakan prinsip yang fundamental: “Tidak satu jengkal tanah dan air pun boleh lepas, harus dibela dengan darah” — mencerminkan semangat perjuangan untuk mempertahankan kedaulatan wilayah.​


Implementasi Teori Kedaulatan Hukum dalam Konstitusi Indonesia

Indonesia secara tegas menganut Teori Kedaulatan Hukum, sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi: “Negara Indonesia adalah negara hukum”.

Artinya, semua penyelenggara negara, termasuk Presiden, DPR, dan lembaga peradilan, harus tunduk dan taat pada hukum. Prinsip ini diwujudkan melalui:

  • Kekuasaan kehakiman yang merdeka, dijalankan oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi
  • Pengujian undang-undang terhadap UUD (judicial review)
  • Prinsip check and balance antar lembaga negara untuk menghindari penyalahgunaan kekuasaan

Penutup

Perjalanan historis konsep kedaulatan dari zaman Abad Pertengahan hingga era modern menunjukkan evolusi pemikiran tentang sumber, sifat, dan batas-batas kekuasaan tertinggi dalam negara. Dari teori kedaulatan tuhan yang menempatkan kekuasaan pada Tuhan, berkembang ke teori kedaulatan raja yang mengabsolutiskan penguasa, kemudian ke teori kedaulatan rakyat yang demokratis, teori kedaulatan negara yang mempersonifikasikan negara sebagai entitas, hingga teori kedaulatan hukum yang menempatkan hukum sebagai kekuasaan tertinggi.

Setiap teori mencerminkan konteks historis dan kebutuhan politiknya. Jean Bodin merumuskan konsep yang tetap relevan dengan empat sifat dasar kedaulatan: permanen, asli, bulat, dan tak terbatas — meskipun pemahaman modern menyadari bahwa pembatasan melalui konstitusi dan hukum adalah aspek penting dari kedaulatan yang bertanggung jawab.

Indonesia mengadopsi suatu pemahaman kedaulatan yang unik — sintesis antara kedaulatan rakyat (sebagaimana dinyatakan dalam “kedaulatan di tangan rakyat” dalam Pembukaan UUD 1945) dan kedaulatan hukum (sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 Ayat 3 yang menyatakan Indonesia adalah negara hukum). Konsep “Kedaulatan Tumpah Darah” mencerminkan komitmen emosional dan moral untuk mempertahankan kedaulatan wilayah dengan segala kekuatan.

Dalam era globalisasi dan integrasi internasional, konsep kedaulatan tetap relevan namun harus disertai pemahaman bahwa kedaulatan modern bukan sekadar kekuasaan absolut yang tak terbatas, melainkan kekuasaan yang dijalankan melalui hukum, dilegitimasi oleh rakyat, dan bertanggung jawab atas kesejahteraan warga negara. Kedaulatan yang sesungguhnya adalah kedaulatan yang melayani, bukan yang menindas.

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *