Teori dan Perkembangan Negara Masa Modern

Oleh: Tim Penyusun, Diupdate 11 Februari 2024

Kesadaran historis masyarakat Eropa dan Amerika saat ini secara universal menerima konsep “Abad Pertengahan” dan meyakini bahwa kita hidup di “zaman baru”. Namun demikian, pendapat masih terbagi mengenai titik waktu yang tepat yang memisahkan era modern dari era abad pertengahan. Sejarah mengajarkan bahwa masa lalu terhubung erat dengan masa depan; firasat akan zaman yang akan datang muncul jauh sebelumnya, dan efek-efek dari masa lampau terus beroperasi dalam waktu yang berubah.​

Bahkan di kedalaman Abad Pertengahan, para pemikir terkemuka telah mengartikulasikan ide-ide yang baru dipahami sekarang, dan banyak institusi abad pertengahan yang masih bertahan hingga hari ini—tidak hanya di biara-biara atau kastil bangsawan. Yang lama dan yang baru terjalin oleh kesatuan kehidupan manusia, sehingga pemisahan yang tajam menjadi tidak logis. Meskipun demikian, penting untuk mendefinisikan periode-periode yang berbeda yang, meskipun bertransisi satu sama lain, masih dapat dibedakan secara luas.​

Renaissance: Transisi, Bukan Permulaan

Banyak sarjana yang menandai zaman baru pada paruh kedua abad ke-15, memandang Renaissance sebagai masa transisi. Periode ini menyaksikan kebangkitan semangat filosofiskebangkitan seni klasik, dan bangkitnya kota-kota Italia yang menegaskan kemerdekaan mereka dari otoritas Kepausan.​

Inovasi seperti percetakan, mesiu, dan navigasi global tentu menandai suatu transisi. Namun, Renaissance lebih merepresentasikan kemunduran periode abad pertengahan dan persiapan untuk kecenderungan baru, daripada kelahiran era yang benar-benar modern. Semangatnya adalah semangat kematangan, berfokus pada menghidupkan kembali yang lama daripada menciptakan yang baru, yang pada akhirnya mengeras menjadi absolutisme kerajaan.​

Reformasi: Pemutusan yang Berakar pada Masa Lalu

Reformasi gerejawi, yang sering ditandai dari 95 Tesis Martin Luther pada tahun 1517, kerap disebut sebagai awal periode modern. Era ini memang menandai pemutusan sejarah-dunia dengan otoritas abad pertengahan Gereja Roma, yang mengarah pada pendirian gereja-gereja Protestan—sebuah kreasi yang genuinely baru dalam ranah gerejawi.​

Pembebasan kesadaran religius dari perbudakan Roma memberikan dorongan kuat untuk pembebasan ilmu pengetahuan dari otoritas gerejawi selanjutnya, dan pemurnian moral ide Negara membuka jalan bagi politik modern. Meskipun demikian, tujuan fundamental Reformasi Jerman bukanlah untuk menghasilkan sesuatu yang sepenuhnya baru, melainkan untuk membersihkan Gereja kuno dari penyalahgunaan dan memulihkan kemurnian primitif Kekristenan.​

Sementara otoritas historis Gereja Kepausan dipatahkan, otoritas yang bahkan lebih tua—Kitab Suci—dipertahankan dengan keketatan yang lebih besar. Sama seperti para master Italia yang berjuang untuk mereproduksi seni klasik, para reformator menemukan bahwa mustahil untuk memulihkan Kekristenan primitif; dunia telah berubah, dan ide-ide lama hanya dapat muncul kembali dalam bentuk-bentuk baru.​

Dua Abad Stagnasi: 1540-1740

Bukti decisif bahwa Reformasi abad ke-16 termasuk dalam fase maju dari periode abad pertengahan, daripada era modern yang penuh vitalitas, terletak pada karakter dua abad dari 1540 hingga 1740. Rentang waktu yang panjang ini memberikan kesan usia tua, bukan kemudaan, kepada pengamat yang tidak memihak.​

Leibnitz, pada tahun 1669, dengan jelas menangkap sentimen ini, menulis: “Kita boleh percaya bahwa dunia telah memasuki usia tuanya“. Periode ini ditandai oleh beberapa karakteristik:​

  • Ortodoksi yang Menggenggam: Bahkan dalam Gereja Protestan, ortodoksi yang mati dan kaku dengan cepat mendominasi, menekan gerakan-gerakan segar dan menindas kemajuan ilmiah​
  • Pengaruh Jesuit: Dalam Gereja Katolik, pengaruh Jesuit yang berkembang sebagai pendukung kuat hierarki abad pertengahan sangat menonjol​
  • Monarki Absolut: Monarki absolut mendominasi Eropa, menghancurkan sistem feodal tetapi kekurangan vitalitas baru, bergantung pada ide-ide dinasti dan Romawi yang lama​

Periode ini menyaksikan gaya rococo menggantikan Renaissance—manifestasi dari kepikunan yang menunjukkan perpecahan dan kemunduran periode abad pertengahan, bukan era yang secara fundamental baru.​

Revolusi Inggris: Kebebasan Lama, Bukan Fondasi Baru

Revolusi Inggris tahun 1640 dan Revolusi “Gemilang” tahun 1688, meskipun membawa monarki konstitusional, tidak menandai awal periode modern. Perbandingan cermat dengan Revolusi Prancis mengungkapkan perbedaan krusial: orang Inggris berjuang terutama untuk kebebasan Anglo-Saxon tradisional dan hak-hak parlementer melawan absolutisme kerajaan.​

Tujuan mereka adalah untuk memulihkan dan melestarikan kebebasan yang sudah ada, bukan untuk menempa tatanan negara atau sosial yang secara fundamental baru. Fokus pada hak-hak historis dan tradisi yang mapan ini dengan tegas menempatkan Revolusi Inggris pada penutup periode abad pertengahan, bukan fajar zaman modern. Semangat yang mendorong peristiwa-peristiwa ini adalah pelestarian dan restorasi, menggemakan masa lalu daripada merintis masa depan.​

Revolusi Prancis: Gerakan Modern yang Menentukan

Banyak yang menganggap Revolusi Prancis (1789) sebagai gerakan decisif pertama dari periode modern. Tidak dapat disangkal bahwa revolusi ini digerakkan oleh semangat yang secara khas modern, meskipun benihnya telah ditanam lebih awal.​​

“Zaman Pencerahan” yang mendahuluinya sudah membawa ciri-ciri yang tidak dapat disalahkan dari era baru, memupuk ide-ide yang akan memuncak dalam gairah revolusioner. Tidak seperti orang Inggris, orang Prancis berusaha untuk membangun organisasi negara yang sepenuhnya baru dan rasional serta kebebasan sosial yang baru, secara fundamental membentuk ulang masyarakat daripada sekadar memulihkan kebebasan masa lalu.​​

Pemutusan radikal dengan tradisi dan pelukan terhadap prinsip-prinsip rasional yang berorientasi ke depan ini dengan tegas memposisikan Revolusi Prancis sebagai momen penting dalam dimulainya zaman modern. Revolusi Prancis menandai titik balik tidak hanya bagi Prancis tetapi bagi seluruh dunia—sebuah waktu pergolakan sosial, politik, dan ekonomi yang mendalam yang meruntuhkan berabad-abad pemerintahan monarki dan secara radikal mendefinisikan ulang konsep pemerintahan, kewarganegaraan, dan hak asasi manusia.​​

1740: Fajar Semangat Baru

Thomas Buckle, sejarawan peradaban modern, mencatat perubahan yang dapat dirasakan dalam arus ide-ide manusia sekitar tahun 1740. Sama seperti matahari pertama kali menerangi puncak-puncak gunung sebelum bersinar ke lembah-lembah, semangat baru pertama kali termanifestasi dalam individu-individu besar dan secara bertahap menyebar di antara penduduk.​

Pada paruh kedua abad kedelapan belas, semangat baru ini tidak hanya menghidupkan segelintir orang terpilih, tetapi meresap ke dalam masyarakat, melahirkan ide-ide baru dan tuntutan universal untuk perubahan. Hati-hati membengkak dengan harapan untuk kehidupan baru; seni, sastra, negara, dan masyarakat mengalami transformasi. Sentimen dunia secara decisif berpaling dari Abad Pertengahan menuju kreasi baru.​

Perbandingan Era: Perbedaan Besar Pasca-1740

Membandingkan individu dan peristiwa sejak 1740 dengan abad-abad sebelumnya mengungkapkan perubahan besar dalam karakter zaman:​

Aspek PerbandinganSebelum 1740Setelah 1740
Tokoh MonarkiLouis XIV (monarki absolut)Frederick the Great (negara modern)
Pembebasan KolonialBelanda dari Spanyol (restorasi)Amerika Utara dari Inggris (kreasi baru)
RevolusiRevolusi Inggris (kebebasan tradisional)Revolusi Prancis (kebebasan sosial baru)
PemikirHutten, LutherRousseau, Lessing

Tidak hanya individu-individu yang berbeda, tetapi juga kondisi keberadaan mereka, tanah tempat mereka berdiri, dan udara yang mereka hirup. Transformasi mendalam ini menggarisbawahi munculnya era baru, yang berbeda dalam prinsip-prinsip dan aspirasi fundamentalnya.​

Frederick the Great dari Prusia mewakili contoh nyata negara modern. Ia membantu mentransformasi Prusia dari negara terbelakang Eropa menjadi negara yang kuat secara ekonomi dan direformasi secara politik. Frederick memberikan negaranya birokrasi modern, mereformasi sistem peradilan, dan memungkinkan orang-orang yang bukan bangsawan menjadi hakim dan birokrat senior. Ia juga mengizinkan kebebasan berbicara, pers, dan sastra, serta menghapus sebagian besar penggunaan penyiksaan yudisial.​​

Pencapaian Negara Modern

Era modern yang dimulai sekitar 1740 ditandai oleh perkembangan-perkembangan signifikan:​

  • Bangkitnya kerajaan Prusia
  • Reformasi Joseph II di Austria
  • Pendirian Amerika Serikat
  • Revolusi Prancis dan kekaisaran Napoleon

Berikut adalah pencapaian-pencapaian yang mendefinisikan, atau setidaknya upaya ambisius, dari Negara modern:​

Monarki Konstitusional dan Demokrasi: Transplantasi monarki konstitusional ke benua Eropa dan upaya pengenalan demokrasi perwakilan. Hal ini mencerminkan pergeseran dari absolutisme menuju pemerintahan yang dibatasi oleh hukum dan konstitusi.​

Negara-Negara Nasional dan Kebebasan Beragama: Pendirian negara-negara nasional dan penghapusan bertahap privilese dan disabilitas religius dalam hukum publik. Frederick the Great, misalnya, menetapkan toleransi beragama di seluruh kerajaannya untuk menarik lebih banyak pemukim.​​

Pemisahan Gereja dan Negara: Demarkasi yang jelas antara ranah-ranah mereka, atau pemisahan total. Ini merupakan pemutusan signifikan dari dualisme abad pertengahan antara otoritas spiritual dan temporal.​

Penghapusan Feodalisme dan Tatanan Berprivilese: Eliminasi struktur sosial dan hierarki arkais. Revolusi Prancis secara khusus menghapuskan sistem feodal yang menindas.​​

Kesatuan Nasional dan Kebebasan Sosial: Bangkitnya konsepsi kesatuan nasional dan pengakuan kebebasan masyarakat. Deklarasi Hak-Hak Manusia dan Warga Negara (1789) menguraikan hak-hak universal individu dan menjadi landasan filosofi hak asasi manusia modern.​​

Bentuk-Bentuk Negara Modern: Perspektif Para Ahli

Memahami bentuk-bentuk negara adalah kunci untuk menelusuri evolusi pemerintahan dan struktur kekuasaan sepanjang sejarah. Seiring berjalannya waktu, para pemikir dan ahli telah mengemukakan berbagai kriteria untuk mengklasifikasikan negara, melampaui pandangan tradisional yang hanya berfokus pada jumlah penguasa.​

Georg Jellinek: Kehendak Negara dan Bentuk Pemerintahan

Georg Jellinek, yang dijuluki Bapak Ilmu Negara, menawarkan kriteria bentuk negara yang berbeda dari pendahulunya. Alih-alih jumlah penguasa atau tujuan kekuasaan, Jellinek berfokus pada cara pembentukan kehendak negara (staatswill).​​

Sebagai penganut teori organik, Jellinek memandang negara sebagai organisme hidup yang memiliki kehendak, mirip dengan manusia. Kehendak negara ini diwujudkan melalui organ-organ negara seperti parlemen dan eksekutif, dan termanifestasi dalam bentuk undang-undang atau hukum.​

Jellinek mengidentifikasi dua cara utama pembentukan kehendak negara:​​

  • Cara Alamiah (Psikologis): Apabila cara terjadinya pembentukan kemauan negara semata-mata secara psikologis atau secara alamiah, yang terjadi dalam jiwa atau badan seseorang dan tampak sebagai kemauan seseorang atau individu, maka bentuk negaranya adalah Monarki
  • Cara Yuridis: Apabila cara terjadinya pembentukan negara secara yuridis, yaitu dibuat atas kemauan orang banyak sehingga terlihat seperti kemauan dewan, maka bentuk negaranya adalah Republik

Leon Duguit: Pengangkatan Kepala Negara

Leon Duguit, seorang realis dan neo-Kantian, menolak konsep “kehendak negara” abstrak Jellinek. Baginya, negara adalah fiksi, dan yang nyata adalah dominasi kelompok kuat atas kelompok lemah, yang disandarkan pada hukum yang lahir dari solidaritas sosial.​​

Duguit menempatkan solidaritas sosial sebagai dasar konstruksi teori tentang hukum—solidaritas membangkitkan dua rasa yakni rasa keharusan sosial (sentiment de la sosialite) dan rasa keadilan. Duguit mengusulkan kriteria yang lebih pragmatis untuk membedakan bentuk negara: tata cara pengangkatan kepala negara:​​

  • Monarki Herediter: Jika kepala negara diangkat berdasarkan garis keturunan, bentuk negaranya adalah monarki​​
  • Republik Elektif: Jika kepala negara ditunjuk atau melalui proses pemilihan, bentuk negaranya adalah republik​​

Meskipun lebih realistis, teori Duguit memiliki kelemahan, seperti kasus monarki elektif di Polandia atau Malaysia, di mana kepala negara diangkat secara bergiliran.​

C.F. Strong: Aspek Konstitusional dan Struktur Negara

C.F. Strong, seorang ahli konstitusi Inggris, menawarkan perspektif yang lebih komprehensif dengan menggolongkan bentuk negara berdasarkan berbagai aspek negara. Dalam karyanya Modern Political Constitutions, Strong mengidentifikasi lima kriteria utama:​

  1. Bangunan negara (kesatuan atau serikat)
  2. Bentuk konstitusi (tertulis atau tidak)
  3. Susunan badan perwakilan dan hak duduk di dalamnya
  4. Tanggung jawab badan eksekutif terhadap parlemen dan masa jabatannya
  5. Hukum yang berlaku di negara tersebut

Strong secara khusus menyoroti dua bentuk negara utama dengan supremasi kekuasaan badan legislatif sebagai titik tolak:​​

Negara Kesatuan (Unitary State): Negara kesatuan dicirikan oleh penyelenggaraan kekuasaan legislatif tertinggi secara terpusat oleh satu kekuasaan pusat. Menurut Strong, ada dua ciri mutlak negara kesatuan: (1) Supremasi dari dewan perwakilan rakyat pusat, dan (2) tidak adanya badan-badan lainnya yang berdaulat.​​

Negara Federal (Federal State): Negara federal adalah konstruksi politik yang bertujuan mendamaikan kesatuan nasional dan kekuasaan dengan pemeliharaan hak-hak negara bagian. Kekuasaan legislatif dibagi antara kekuasaan pusat (federal) dan unit-unit yang lebih kecil, seperti negara bagian, kanton, atau provinsi, sesuai dengan tingkat kekuasaan mereka.​​

Salah satu ciri negara federal menurut Strong adalah bahwa ia mencoba menyesuaikan dua konsep yang sebenarnya bertentangan: kedaulatan negara federal dalam keseluruhannya dan kedaulatan negara-negara bagian.

Perbandingan Kriteria Bentuk Negara

AhliKriteriaPembagian
JellinekCara pembentukan kehendak negaraMonarki (kehendak satu orang) vs. Republik (kehendak dewan)
Leon DuguitTata cara pengangkatan kepala negaraMonarki (herediter) vs. Republik (elektif)
C.F. StrongSupremasi kekuasaan legislatifNegara Kesatuan (legislatif terpusat) vs. Federal (legislatif terbagi)

Tabel ini merangkum perbedaan pendekatan para ahli dalam mengklasifikasikan bentuk-bentuk negara, menyoroti kompleksitas dalam mendefinisikan entitas politik.​

Dinamika Bentuk Negara: Tidak Selalu Mutlak

Bentuk-bentuk negara yang dikemukakan para ahli mencerminkan pemahaman yang berlaku umum pada masanya, namun tidak selalu bersifat mutlak. Sistem pemerintahan terus berevolusi, dan ada pengecualian yang menantang klasifikasi kaku, seperti monarki elektif atau negara federal dengan tingkat otonomi daerah yang bervariasi.​

Penting untuk menganalisis setiap kasus secara kritis, mempertimbangkan nuansa dan adaptasi yang terjadi dalam praktik pemerintahan modern. Pemahaman tentang bentuk negara harus selalu dinamis, mengakui bahwa realitas politik seringkali lebih kompleks daripada teori-teori yang ada.​

Era modern yang dimulai sekitar tahun 1740 secara umum mewujudkan kedewasaan yang sadar diri (self-conscious manhood) pada tingkat yang lebih tinggi daripada periode-periode sebelumnya. Namun, ciri-ciri seperti probing yang tidak pasti dalam teori dan praktik politik, upaya-upaya berani dalam kreasi yang sepenuhnya baru, keputusasaan sesaat setelah kegagalan, dan osilasi antara revolusi dan reaksi menunjukkan bahwa kita hanya berada di tahap pertamanya—penampilan yang belum matang dan muda, kadang-kadang bahkan kekanak-kanakan.​

Penutup

Teori dan perkembangan negara masa modern menunjukkan evolusi signifikan dalam pemikiran kenegaraan yang dimulai sekitar tahun 1740, ditandai oleh Zaman Pencerahan dan memuncak pada Revolusi Prancis 1789. Periode ini menyaksikan transformasi fundamental dari konsep negara abad pertengahan yang teokratis dan feodal menuju negara modern yang konstitusional, nasional, dan berbasis hak asasi manusia.

Para ahli seperti Jellinek, Duguit, dan Strong memberikan kerangka analitis yang berbeda untuk memahami bentuk-bentuk negara modern. Jellinek menekankan cara pembentukan kehendak negara, Duguit fokus pada tata cara pengangkatan kepala negara, sedangkan Strong menyoroti distribusi kekuasaan legislatif. Ketiganya saling melengkapi dalam memberikan pemahaman komprehensif tentang klasifikasi negara modern.

Pencapaian negara modern—monarki konstitusional, demokrasi perwakilan, pemisahan gereja-negara, penghapusan feodalisme, dan pengakuan hak-hak individu—merupakan warisan berharga yang terus membentuk tatanan politik global hingga saat ini. Pemahaman historis terhadap perkembangan ini esensial bagi siapa pun yang ingin memahami dinamika kenegaraan kontemporer dan tantangan-tantangan yang dihadapinya di masa mendatang.

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *