Teori dan Perkembangan Negara Pra Modern

Oleh: Tim Penyusun, Diupdate 11 Novembr 2025

Teori dan Perkembangan Negara Pra-Modern menyajikan evolusi pemikiran kenegaraan dari era Yunani Kuno hingga Abad Pertengahan. Esai ini akan menguraikan dan menganalisis secara mendalam setiap fase perkembangan tersebut, dengan menelusuri pemikiran para tokoh utama dan kontribusi mereka terhadap teori kenegaraan modern.

Zaman Yunani Kuno: Akar Pemikiran Kenegaraan

Pemikiran mengenai asal mula negara tumbuh subur di Yunani Kuno bukan karena bangsa Yunani telah terformasi sebagai satu negara mandiri, melainkan justru karena ketersebarannya di ratusan polies (negara-kota) yang independen. Athena menjadi salah satu polis yang paling menonjol dan dikenal telah memenuhi persyaratan sebagai negara modern. Setiap polis secara esensial merupakan kesatuan politik yang independen, memiliki otonomi dalam menetapkan hukum dan menyusun kebijaksanaan masing-masing. Kondisi demokratis dalam polis dan penghargaan tinggi terhadap pendidikan inilah yang memunculkan orang-orang kritis, rasional, dan bergairah untuk berdebat, yang pada akhirnya mendorong perkembangan pemikiran filsafat dan ilmu kenegaraan.​

Socrates (469-399 SM): Negara sebagai Susunan Objektif

Socrates merupakan tokoh fundamental dalam perkembangan filsafat kenegaraan Yunani. Menurut Socrates, negara bukanlah organisasi yang dapat dibuat oleh manusia untuk kepentingan diri sendiri semata. Negara merupakan jalan atau susunan objektif yang berdasarkan hakikat manusia itu sendiri. Pandangan ini berangkat dari pemahaman bahwa manusia adalah makhluk yang saling membutuhkan, saling bergaul, dan saling menolong.​

Tugas negara dalam konsepsi Socrates adalah melaksanakan hukum. Hukum yang dimaksud adalah hukum objektif yang mengandung keadilan bagi umum, bukan semata-mata melayani kebutuhan penguasa yang oknum-oknumnya silih berganti. Dengan demikian, Socrates menempatkan hukum di atas kepentingan individual penguasa dan menekankan bahwa hukum dan pemerintahan harus berjalan beriringan untuk mencapai tujuan negara.​​

Plato (427-347 SM): Siklus Negara dan Negara Ideal

Sebagai murid Socrates, Plato mengembangkan pemikiran gurunya dengan pendekatan yang lebih sistematis. Plato mengisyaratkan bahwa berdirinya suatu negara didorong oleh kesadaran manusia untuk mencukupi kebutuhannya sendiri. Karena kebutuhan dan keinginan manusia yang beragam, mereka harus bekerjasama, dan kesatuan kerjasama inilah yang kemudian disebut masyarakat atau negara.​​

Salah satu kontribusi terbesar Plato adalah konsep Siklus Plato yang menggambarkan dinamika perubahan bentuk negara. Menurut Plato, negara bukanlah entitas statis, melainkan dinamis yang mengalami transformasi. Siklus tersebut dimulai dari:​

  1. Aristokrasi: Pemerintahan oleh para cerdik pandai yang berpedoman pada keadilan
  2. Timokrasi: Muncul ketika para aristokrat mulai mengenal ambisi duniawi
  3. Oligarki: Terbentuk ketika pembesar negara bersekutu dengan orang-orang kaya
  4. Demokrasi: Lahir dari pemberontakan rakyat terhadap oligarki
  5. Tirani: Muncul ketika demokrasi kehilangan keamanan dan ketertiban
  6. Kembali ke Aristokrasi melalui gerakan rakyat yang dipimpin cendekiawan​​

Plato juga menggolongkan masyarakat dalam negara menjadi tiga golongan berdasarkan sifat manusia: sifat kepandaian (pikiran), sifat keberanian, dan sifat produktif. Dalam karyanya Politikos dan Nomoi, Plato mengembangkan gagasan tentang negara yang diatur berdasarkan hukum, meskipun alam pikirannya tetap bersifat idealis.

Aristoteles (384-322 SM): Republik Konstitusional dan Teori Keadilan

Aristoteles, murid terbesar Plato, mengembangkan pemikiran kenegaraan dengan pendekatan yang lebih empiris dan sistematis. Berbeda dengan Plato yang masih mencampuradukkan objek penyelidikannya, Aristoteles telah memisahkan kajian tentang keadilan dalam buku Ethica dan kajian tentang negara dalam buku Politica.

Menurut Aristoteles, negara yang baik adalah negara yang memberlakukan hukum-hukum yang baik. Ia menyukai adanya penguasa yang memerintah berdasarkan konstitusi dan memerintah dengan persetujuan warga negaranya, bukan pemerintahan diktator. Aristoteles memandang negara sebagai gabungan dari keluarga-keluarga yang menjadi kelompok besar.​

Negara terbaik menurut Aristoteles adalah Republik Konstitusional dengan tiga karakteristik utama: (1) Pemerintahan untuk kepentingan umum; (2) Pemerintahan dijalankan menurut hukum; dan (3) Pemerintahan mendapatkan persetujuan dari warga negaranya.​​

Kontribusi penting lainnya dari Aristoteles adalah teori keadilan yang terbagi menjadi dua jenis:​​

  • Keadilan Distributif (iustitia distributiva): Keadilan yang mencakup pembagian pendapatan, kekayaan, dan aset-aset lain dalam masyarakat secara proporsional. Dalam alam pikiran modern, keadilan ini lazimnya disebut “keadilan legislatif” (legislative justice). Aristoteles menegaskan bahwa keadilan distributif mengikuti prinsip proporsionalitas, bukan kesamaan mutlak.​​
  • Keadilan Korektif (iustitia corrective): Keadilan yang memulihkan kembali hak-hak yang dilanggar dan mengembalikan kepada keseimbangan semula sebelum terjadinya pelanggaran. Keadilan ini sering disebut justice of the courts karena berkaitan dengan pembetulan sesuatu yang salah melalui proses peradilan.​​

Zaman Romawi Kuno: Transisi dari Polis ke Civitas

Jika bangsa Yunani menggunakan istilah polis untuk mengabstrasikan alam pikiran mengenai negara, maka bangsa Romawi menggunakan istilah civitas untuk menggambarkan hal yang sama. Era Romawi Kuno melahirkan tiga pemikir kenegaraan yang berpengaruh: Lucretius, Polybius, dan Cicero.​

Lucretius (99-55 SM): Teori Perjanjian

Lucretius mengembangkan teori yang berbeda dari para pendahulunya. Menurutnya, manusia pada awalnya hidup tidak dalam suatu masyarakat, melainkan mempertahankan diri secara individual dengan ketersediaan pangan dan sandang yang ada di muka bumi. Karena perasaan dengan kepentingan yang sama, manusia lalu berkelompok untuk memformasi suatu komunitas yang lebih besar melalui suatu perjanjian (foedera atau treaty).​

Teori Lucretius menggambarkan evolusi sosial manusia: pada awalnya manusia dapat hidup tanpa peraturan atau kebiasaan (custom), kemudian memutuskan untuk menyusun peraturan dan menetapkan undang-undang, dan memaksa orang-orang untuk bersedia mematuhinya. Pandangan ini menjadi embrio dari teori kontrak sosial yang berkembang kemudian.​

Polybius (200-118 SM): Siklus Pemerintahan

Pemikiran Polybius yang paling terkenal adalah Siklus Polybius (Cyclus Polybios), yang menggambarkan perputaran bentuk pemerintahan. Polybius percaya bahwa semua bentuk pemerintahan mengalami siklus alami dari kemunculan, kemakmuran, dan kemudian kemunduran. Ia mengidentifikasi enam bentuk pemerintahan yang saling berkaitan dalam suatu siklus:​​

  1. Monarki: Negara pada mulanya berformasi monarki di mana kekuasaan dilaksanakan oleh raja secara turun temurun untuk kepentingan rakyat​​
  2. Tirani: Muncul ketika raja bertindak sewenang-wenang dan tidak memikirkan rakyatnya​
  3. Aristokrasi: Terbentuk setelah cendekiawan dan bangsawan menjatuhkan diktator dan menjalankan pemerintahan dengan memperhatikan kepentingan umum​​
  4. Oligarki: Muncul ketika para aristokrat tidak lagi memikirkan kepentingan rakyat​
  5. Demokrasi: Lahir dari pembangkangan sipil yang menempatkan rakyat sebagai aktor utama pengambil keputusan kenegaraan​​
  6. Okhlokrasi: Terjadi ketika kebebasan tidak dikelola dengan baik sehingga terjadi kekacauan​

Dalam keadaan kacau tersebut, muncul orang kuat untuk mengendalikan keadaan dan merubah formasi pemerintahan menjadi monarki kembali. Teori ini menegaskan bahwa setiap bentuk negara merupakan konsekuensi dari bentuk pemerintahan sebelumnya yang langsung mendahuluinya, membentuk suatu lingkaran yang terus berulang.​​

Cicero (106-43 SM): Kontrak Sosial dan Konstitusi Campuran

Cicero memberikan kontribusi signifikan dalam teori kenegaraan melalui karyanya De Republica dan De Legibus. Cicero mengatakan bahwa asal mula negara adalah sebuah kota yang kemudian melalui sebuah kontrak sosial, memformasi diri menjadi negara. Motivasi pemformasian negara adalah dorongan rasional untuk menciptakan ketertiban.​​

Dengan adanya kontrak sosial ini, Cicero meyakinkan mengenai terhindarnya negara dari tirani. Pandangan Cicero menekankan bahwa tirani bertentangan dengan hakikat negara yang seharusnya berdasarkan kesepakatan bersama. Dalam pandangan Cicero, negara adalah suatu kenyataan yang harus ada dalam kehidupan manusia, disusun berdasarkan kemampuan rasio manusia yang disesuaikan dengan hukum alam kodrat.​​

Cicero juga mengembangkan konsep konstitusi campuran yang memadukan kebaikan dari sistem monarki, aristokrasi, dan demokrasi. Ia percaya bahwa negara ideal bergantung pada pengaturan institusional para pejabat publik, dengan senat sebagai inti sistem hukum dan kekuasaan. Dalam negara seperti ini terdapat elemen tertinggi dengan potestas (kekuasaan) bagi magistrat, auctoritas (kewenangan) bagi para tokoh, dan libertas (kebebasan) bagi rakyat.

Zaman Abad Pertengahan: Dualisme Negara dan Gereja

Masyarakat Abad Pertengahan dicirikan oleh struktur sosial yang feodal, kehidupan sosial dan spiritual dikuasai oleh Paus dan pejabat-pejabat agama, sedangkan kehidupan politik ditandai oleh perebutan kekuasaan di antara kaum bangsawan. Dalam masa ini, ajaran Nasrani menunjukkan dominasinya dengan menggeser pengaruh agama Yahudi dan kebudayaan Romawi.​​

Ciri-ciri Pemikiran Abad Pertengahan

Beberapa ciri utama pemikiran kenegaraan Abad Pertengahan meliputi:​​

  • Teokrasi: Kekuasaan negara diperoleh dari Tuhan dan konsepsi negara berdasarkan ajaran Tuhan. Pemikiran teokratis menjadi landasan bagi banyak teori politik, di mana kekuasaan raja dianggap sebagai mandat dari Tuhan
  • Dualisme Negara dan Gereja: Terjadi ketegangan antara otoritas spiritual gereja dan otoritas temporal negara​
  • Feodalisme: Sistem sosial kemasyarakatan bersifat feodal, di mana lembaga perwakilan terdiri dari bangsawan dan hukum negara ditentukan oleh para pendeta serta bangsawan​​
  • Dominasi Gereja atas Ilmu Pengetahuan: Gereja mendidik kaum muda dan menolak kehadiran ilmu pengetahuan. Pemikiran-pemikiran kritis ditentang sepanjang bertentangan dengan doktrin gereja​​

Feodalisme sebagai Struktur Kekuasaan

Feodalisme adalah struktur pendelegasian kekuasaan sosiopolitik yang dijalankan di kalangan bangsawan untuk mengendalikan berbagai wilayah. Di bawah sistem feodal, masyarakat ditempatkan pada sebuah “tangga sosial” di mana mereka yang berada di puncak memiliki kekuasaan terbesar.

Raja memegang kendali penuh sebagai pemimpin sistem feodal, memiliki seluruh tanah di negara dan memutuskan kepada siapa ia akan menyewakan tanah. Para baron menyewa tanah dari raja yang dikenal sebagai manor, menjadi Lord of the Manor dengan kendali penuh atas tanah tersebut. Hubungan feodal didasarkan pada kesetiaan dan kewajiban timbal balik antara penguasa dan yang diperintah.

Transisi Menuju Modernitas: Renaissance, Reformasi, dan Westphalia

Menjelang akhir Abad Pertengahan, terjadi beberapa gerakan penting yang mengubah tatanan pemikiran kenegaraan:​

Renaissance adalah aliran yang menghidupkan kembali minat pada sastra dan budaya Yunani Kuno, berupa gelombang kebudayaan dan pemikiran yang dimulai di Italia pada abad ke-14 dan mencapai puncaknya pada abad ke-15 dan ke-16. Dasar dari ide Renaissance adalah kebebasan berpikir dan bertindak bagi manusia.​

Reformasi adalah revolusi agama di Eropa Barat pada abad ke-16 yang awalnya dimaksudkan untuk perbaikan dalam Gereja Katolik, namun kemudian berkembang menjadi asas-asas Protestantisme. Reformasi Protestan muncul akibat faktor ekonomi, politik, nasionalisme, individualisme, dan praktik indulgensi.​​

Perdamaian Westphalia (1648) merupakan tonggak penting yang mengakhiri Perang Tiga Puluh Tahun dan melahirkan konsep negara berdaulat modern. Perjanjian ini ditandatangani pada 24 Oktober 1648 di Osnabrück dan Münster, menghasilkan asas-asas fundamental: kedaulatan negara, kesetaraan antar negara, dan non-intervensi. Perdamaian Westphalia secara resmi melepaskan kekuasaan negara dari pengaruh Paus dan Takhta Suci Romawi, mendorong perkembangan hukum internasional modern.​​

Relevansi Pemikiran Pra-Modern bagi Konteks Kekinian

Pemikiran-pemikiran kenegaraan dari era pra-modern tetap memiliki relevansi signifikan dalam konteks hukum dan politik kontemporer. Konsep negara hukum (rechtsstaat) yang berkembang sejak zaman Yunani Kuno melalui pemikiran Plato dan Aristoteles terus memengaruhi konstitusionalisme modern. Gagasan bahwa pemerintahan harus dijalankan berdasarkan hukum dan dengan persetujuan warga negara merupakan fondasi bagi demokrasi konstitusional saat ini.

Teori keadilan Aristoteles tentang keadilan distributif dan korektif menjadi dasar bagi pengembangan sistem hukum publik dan privat. Keadilan distributif berkaitan dengan bagaimana negara membagi sumber daya dan keuntungan, sementara keadilan korektif menjadi landasan bagi sistem peradilan dalam memulihkan keseimbangan yang terganggu akibat pelanggaran hukum.

Siklus Polybius memberikan peringatan tentang bahaya degenerasi sistem pemerintahan. Dalam konteks Indonesia, diskursus tentang siklus ini kerap diangkat untuk mengingatkan bahwa demokrasi dapat bergerak menuju okhlokrasi jika kebebasan tidak dikelola dengan baik. Pemahaman terhadap siklus ini penting bagi pembuat kebijakan untuk mencegah kemerosotan kualitas demokrasi.

Konsep kedaulatan negara yang lahir dari Perdamaian Westphalia menjadi pilar utama hubungan internasional modern dan hukum internasional publik. Asas-asas kedaulatan, kesetaraan, dan non-intervensi yang dihasilkan dari perjanjian tersebut hingga kini tetap menjadi prinsip fundamental dalam tatanan global.

Penutup

Evolusi pemikiran kenegaraan dari Yunani Kuno hingga Abad Pertengahan menunjukkan perjalanan panjang manusia dalam mencari bentuk organisasi politik yang ideal. Dari polis Yunani yang demokratis hingga civitas Romawi yang terstruktur, dari teokrasi abad pertengahan hingga lahirnya negara berdaulat modern, setiap fase memberikan kontribusi unik terhadap pemahaman kita tentang negara dan hukum.

Pemikiran Socrates tentang negara sebagai susunan objektif, Plato tentang siklus negara dan negara ideal, Aristoteles tentang republik konstitusional dan keadilan, Polybius tentang siklus pemerintahan, serta Cicero tentang kontrak sosial dan konstitusi campuran—semuanya membentuk fondasi bagi teori kenegaraan yang terus berkembang hingga saat ini. Pemahaman mendalam terhadap sejarah pemikiran ini menjadi bekal penting bagi siapa pun yang berkecimpung dalam bidang hukum dan kebijakan publik, karena masa kini tidak dapat dipisahkan dari akar historisnya.

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *